Menimbang Pindah Ibukota
Di tahun ke-3 kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, wacana pemindahan ibukota Republik Indonesia terus bergulir. Wacana ini tidak terlepas dari penilaian sebagian besar masyarakat bahwa begitu banyak permasalahan di Jakarta yang belum terselesaikan dan terus menumpuk. Apa betul bahwa masalah di Jakarta dapat terselesaikan? Butuh waktu berapa lama menyelesaikannya? Ataukah Indonesia memang sudah butuh ibukota baru?
Pertimbangan Penduduk
Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9,6 juta jiwa. Padahal luas daratan Jakarta hanya 661,52 km2. Kepadatan penduduk mencapai 14 ribu jiwa per km2. Jumlah penduduk saat ini melampaui proyeksi penduduk Jakarta yang sebenarnya diperkirakan ”hanya” 9,3 juta jiwa di tahun 2010. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) DKI Jakarta periode 2000-2010 mencapai angka 1,39 persen, jauh lebih besar dibanding LPP 1990-2000 yang hanya 0,17 persen. Tingginya LPP DKI Jakarta dipicu oleh besarnya migrasi masuk. Karena angka kelahiran di Jakarta sudah rendah, dimana rata-rata anak yang dimiliki perempuan usia subur sekitar 1,6 anak. Jakarta ternyata masih menarik sebagai daerah tujuan migrasi.
Untuk wilayah Jabodetabek, hasil SP 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di kawasan ini sudah mencapai 27,94 juta jiwa (sekitar 12 persen penduduk Indonesia). Padahal, luas wilayah Jabodetabek kurang dari 0,5 persen luas wilayah Indonesia. LPP 2000-2010 Jabodetabek mencapai 2,82 persen. Jauh melampaui LPP nasional (sekitar 1,49 persen). Jika LPP Jabodetabek stabil, maka dipastikan dalam 25 tahun mendatang jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 56 juta jiwa.
Membaiknya infrastruktur yang menghubungkan Jakarta dengan daerah penyangga mendorong orang untuk tinggal di daerah penyangga. Alasan lain tinggal di daerah penyangga ialah mahalnya harga tanah serta terbatasnya lahan kosong di Jakarta. Padahal umumnya aktifitas mereka di Jakarta. Terjadi fenomena urban sprawl, akibat perambatan aktifitas yang “boros lahan”. Konversi lahan di Jabodetabek sangat cepat dan merambah daerah di luar Jabodetabek seperti Karawang. Kebutuhan perumahan meningkat drastis dan ketersediaan kawasan resapan air serta lahan pertanian berkurang secara signifikan. Penduduk mulai mengkonsumsi air tidak terlindungi yang kualitasnya rendah. Padahal kualitas hidup manusia terkait erat dengan kualitas air yang digunakannya.
Pertimbangan Mobilitas
Pertumbuhan penduduk di penyangga Jakarta (wilayah Bodetabek) menimbulkan masalah, karena arus komuter dari daerah penyangga ke wilayah Jakarta sangat besar. Meskipun bekerja di Jakarta, banyak komuter memilih daerah penyangga sebagai tempat tinggal. Terdapat sekitar 1,4 juta komuter menuju Jakarta setiap harinya (BPS, 2009). Komuter adalah orang yang melakukan perjalanan ulang alik untuk kepentingan bekerja. Sekitar 21,3 persen komuter bekerja sebagai pegawai pemerintah (administrasi pemerintahan, pertahanan). Jika seandainya pemerintah memindahkan pusat pemerintahan saja, maka setidaknya akan mengurangi seperlima komuter di Jakarta.
Peningkatan jumlah komuter tidak diimbangi oleh peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi massal. Sehingga, banyak komuter yang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Tahun 2007, pertumbuhan jumlah mobil di DKI Jakarta sekitar 7,75 persen sedangkan pertumbuhan motor 12,5 persen. Padahal, antara tahun 2003 hingga 2007 nyaris tidak ada penambahan infrastruktur jalan baru, selain pembangunan 21 terowongan dan jalan layang. Luas jalan di Jakarta hanya 6,3 persen dari luas lahan yang ada. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan kota besar di negara maju yang mencapai 20 persen.
Tidak mengherankan dengan pertumbuhan kendaraan pribadi yang besar tetapi luas jalan yang kecil, kemacetan di Jakarta semakin parah. Hasil penelitian memprediksi bahwa setiap menit waktu yang dihabiskan untuk kemacetan, menciptakan kerugian opportunity cost sekitar 9,34 miliar rupiah. Dalam 15 tahun, telah terjadi peningkatan travel time dalam kota Jakarta sebesar 2 kali lipat. Bahkan secara rata-rata, 40 persen dari waktu perjalanan seorang komuter di Jakarta hanya dihabiskan untuk berhenti karena macet. Tidak mengherankan banyak orang yang frustasi dalam menghadapi kemacetan.
Manfaat Pemindahan Ibukota
Setidaknya muncul dua alternatif solusi yang berkembang saat ini. Pindah ibukota atau hanya pindah pusat pemerintahan saja. Hal ini sangat tergantung pada tujuan pemindahan itu sendiri. Pindah pusat pemerintahan lebih bermanfaat untuk mengurangi beban Jakarta saja. Akan ada kecenderungan bahwa pusat pemerintahan dipindahkan tidak jauh dari Jakarta. Sedangkan pindah ibukota akan menciptakan manfaat yang lebih besar dari sekedar mengurangi beban Jakarta. Pemindahan ibukota bukan hanya sekedar memindahkan masalah Jakarta ke tempat lain.
Pemindahan ibukota negara juga bermanfaat untuk mendorong persebaran penduduk dan manfaat pembangunan yang lebih merata. Hal ini untuk menghindari pembangunan yang bersifat enclave. Meskipun otonomi daerah telah “menyebarkan uang” ke daerah, namun jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa masih mencapai 57,49 persen dari penduduk Indonesia. Hanya turun 1,5 persen dibanding persentase distribusi penduduk Jawa sebelum otonomi daerah (58,93 persen). Otonomi daerah belum mampu mendorong pemerataan penduduk dan manfaat pembangunan. Selama 65 tahun merdeka, Indonesia secara spasial masih mengalami kesenjangan regional. Sekitar seperlima Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbangkan oleh Jakarta. Hampir 40% kredit disalurkan atau disahkan hanya di Jakarta.
Penting untuk mempertimbangkan ketersediaan lahan dalam pemilihan lokasi ibukota baru. Sebaiknya pemindahan dilakukan ke daerah yang tidak menimbulkan kompetisi lahan dengan sektor pertanian. Ibukota baru akan berkembang dan membutuhkan ekspansi lahan aktifitas non-pertanian dalam jangka panjang. Pemindahan ibukota ke arah Jawa Barat akan mengancam ketahanan pangan nasional, mengingat Jawa Barat merupakan salah satu lumbung pangan nasional dan penghasil padi terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur.
Keputusan pemerintah memindahkan ibukota seharusnya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan manfaat jangka pendek. Jakarta tentunya ingin tetap menjadi ibukota Indonesia. Membenahi Jakarta pasti tidak mudah dan butuh waktu. Namun, berapa lama lagi kita harus menunggu? Jika Jakarta tidak mampu menyelesaikan masalahnya dalam beberapa tahun lagi, keputusan memindahkan ibukota akan menjadi keputusan terbaik.