Akar Masalah TKI di Dalam Negeri?

Dimuat Dalam Kolom Opini Media Indonesia, 24 November 2010.

Berita penyiksaan Sumiati dan kematian Kikim Komalasari, dua tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, memunculkan ‘luka lama’ yang selalu berulang dari waktu ke waktu. Hampir setiap tahun kita mendengar penyiksaan TKI di luar negeri yang melampaui batas perikemanusiaan. Jika kita bertanya tentang jumlah kasus penyiksaan dan berbagai masalah TKI di luar negeri, mungkin hanya Tuhan yang tahu, karena masih banyak kasus lain yang tidak terungkap.

Dalam perjalanan saya dari Jakarta ke Yunani pertengahan 2008 lalu, saya berkesempatan transit di Dubai (Uni Emirat Arab) selama 6 jam dan bertemu begitu banyak TKI yang tidur dan duduk di sepanjang koridor dalam bandara. Naluri sebagai peneliti muncul dengan memanfaatkan waktu transit untuk mewawancarai para TKI. Hal yang mengejutkan, hampir seluruh TKI yang menjadi ‘sampel’ wawancara saya mengungkapkan berbagai masalah yang memprihatinkan. Dari mulai tidak menerima gaji sama sekali, bekerja 20 jam per hari, disiksa majikan, hingga ditipu para calo yang berkeliaran di bandara. Apakah para TKI tersebut melaporkan masalahnya ke pihak berwenang? Ternyata tidak. Jawaban paling sederhana, tidak tahu bagaimana caranya dan apa manfaatnya.

Kesempatan kerja
Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja. Jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Pemerintah memperkirakan angka pengangguran turun dari 7,9 persen di tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi sebenarnya masih banyak orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan yang tidak layak. Sebelum krisis ekonomi 1997, angka elastisitas penyerapan tenaga kerja cukup tinggi. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap lebih dari 400 ribu tenaga kerja baru. Sementara pada masa puncak krisis (1998-2000), penyerapan tenaga kerja menurun drastis hingga di bawah 200 ribu penyerapan untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi. Meskipun saat ini sudah membaik, penyerapan tenaga kerja belum sebaik sebelum krisis.

Pertumbuhan penawaran tenaga kerja jelas dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Sensus Penduduk 2010 menunjukkan kecenderungan naiknya pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2010 dibanding 10 tahun sebelumnya. Ini akan membebani pasar kerja dalam beberapa tahun mendatang. Setiap tahun sekitar 2,5 juta tenaga kerja baru masuk ke pasar kerja. Jika angka penyerapan tenaga kerja saat ini sekitar 250 ribu untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, setidaknya 10% pertumbuhan ekonomi dibutuhkan. Padahal kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini jauh di bawah angka 10%.

Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja “mengadu nasib” di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa tahun mendatang akan semakin besar. Sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD ke bawah. Semakin sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD. Hal ini diperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, sehingga harus bekerja termasuk ke luar negeri.

Aliran pekerja ke luar negeri menjadi salah satu solusi untuk mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terus menimbulkan masalah. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari sekitar 14% pada 2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.

Awal masalah
Pemerintah mensyaratkan bahwa TKI harus legal, dikirim melalui agen resmi yang membantunya untuk membuat paspor dan visa, memperoleh surat keterangan kesehatan, membayar asuransi dan kewajiban lainnya, memiliki keterampilan dan kemampuan bahasa.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) memperkirakan pada 2010 terdapat sekitar 2,7 juta TKI bekerja di luar negeri. Namun jumlahnya dapat lebih besar mengingat banyak TKI ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI memilih bekerja di Malaysia karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI bekerja di Arab Saudi. TKI berperan besar bagi perekonomian Indonesia. Nilai remitansi TKI tahun 2008 mencapai sekitar Rp60 triliun per tahun (15% PDB Indonesia).

Masalah TKI muncul sejak proses awal di Indonesia. Umumnya penyaluran TKI melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun ilegal. Agen TKI mengontrol hampir seluruh proses awal, mulai dari rekrutmen, paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit, dan penempatan TKI. Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, direkrut makelar yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses. Rendahnya pendidikan calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah ditipu pihak lain. Mereka tidak memahami aturan dan persyaratan untuk bekerja di luar negeri. Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang juga didasarkan kekhawatiran mereka karena memiliki identitas palsu. Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi kelancaran proses, usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia, tetapi juga nama dan alamat. Oleh karena itu, tidak mudah melacak para TKI bermasalah di luar negeri.

Langkah ke depan
Pemerintah perlu menertibkan para agen TKI ilegal untuk menghindari permasalahan sejak proses awal. Kita semua perlu menyadari bahwa permasalahan TKI berawal dari dalam negeri, meskipun akar masalah di luar negeri juga tidak bisa diabaikan. Rendahnya kesempatan kerja dan tingginya pertumbuhan penduduk sebagai akibat mengendurnya berbagai kebijakan kependudukan berdampak pada meningkatnya aliran pekerja dengan pendidikan rendah ke luar negeri.

Selain itu, perlu koordinasi yang lebih baik antara BNP2TKI dan Kemenakertrans. Pemerintah harus lebih fokus untuk mengungkapkan solusi dan bukan sekadar mengungkapkan masalah. Semua pihak harus segera duduk bersama. Instrumen kebijakan untuk mengatasi masalah TKI tidak harus terkait langsung dengan urusan TKI itu sendiri. Karena pada dasarnya, Indonesia saat ini membutuhkan komitmen kebijakan kependudukan yang kuat dan secara tidak langsung akan mengatasi masalah TKI pada jangka panjang. kekuasaan. (Sumber: Media Indonesia, 24 Nopember 2010).