Pangan, Penduduk, dan Petani Tua
Isu ketahanan pangan mengemuka sepanjang tahun lalu. Harga beberapa komoditas pangan bergerak naik. Terjadi kekurangan persediaan beberapa jenis komoditas dan penurunan produksi akibat pengaruh iklim. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mengungkapkan bahwa kelangkaan pangan bukanlah ilusi. Lembaga di bawah naungan PBB itu bahkan telah memperingatkan akan terjadinya krisis pangan dunia pada tahun ini.
Thomas Robert Malthus pada akhir abad ke-18 mengungkapkan suatu teori bahwa jumlah penduduk akan melampaui ketersediaan pangan akibat terbatasnya kapasitas tanah untuk memproduksi pangan dan cepatnya pertumbuhan penduduk. Akan terjadi masalah kelaparan yang berujung kematian dan penyakit. Kematian akibat kelaparan akan menyeimbangkan komposisi penduduk dan ketersediaan pangan secara alamiah.
Pada saat itu, banyak pihak yang tidak setuju dengan pendapat Malthus tersebut. Perdebatan teori Malthus ini sempat terhenti karena di luar dugaan, teknologi berkembang cepat dan mekanisasi pertanian menjadi lebih baik.
Namun kini kekhawatiran mulai muncul seiring dengan jumlah penduduk dunia yang tumbuh cepat dari waktu ke waktu. Jumlah penduduk naik dari 2 milyar menjadi 7 milyar jiwa hanya dalam waktu kurang dari satu abad. Apakah teori Malthus itu akan terbukti? Bagaimana dengan kondisi ketahanan pangan di Indonesia terkait tambahan jumlah penduduk yang besar dalam 10 tahun terakhir?
Tekanan Penduduk
Pertambahan penduduk yang terlalu besar akan menimbulkan tekanan penduduk. Aktivitas ekonomi non-pertanian secara terus-menerus mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi peruntukan non-pertanian. Lebih memprihatinkan lagi, karena konversi lahan justru terjadi pada lahan-lahan pertanian yang paling produktif (“kelas I”). Akibatnya, kemampuan produksi sektor pertanian dapat terancam dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Pada 2010, lebih dari 57% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, yang merupakan sentra produksi pangan nasional. Dalam 10 tahun terakhir, Pulau Jawa mengalami tekanan penduduk. Jumlah penduduknya bertambah sekitar 15 juta jiwa. Secara rata-rata, pertambahan penduduk di Jawa setiap tahun sekitar 1,5 juta jiwa.
Berarti, selama tahun 2007-2010, di Jawa diperkirakan terjadi pertambahan penduduk 4,5 hingga 5 juta jiwa. Padahal, dalam kurun waktu tiga tahun itu, data Kementerian Pertanian mencatat adanya penurunan lahan 600.000 hektare. Bisa dibayangkan, dengan luas lahan yang tersisa sekitar 3,5 juta hektare saja pada 2010, hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun lagi, lahan pertanian di Jawa terancam punah.
Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia tidak mungkin mengandalkan impor pangan (terutama makanan pokok) dari negara lain. Swasembada makanan pokok mutlak dibutuhkan, karena surplus produksi dari negara lain tidak akan mampu memenuhi kebutuhan Indonesia. Kebutuhan beras di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Rata-rata konsumsi beras per kapita mencapai sekitar 139 kg.
Dengan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, dibutuhkan sedikitnya 33 hingga 34 juta ton beras per tahun. Sementara itu, produksi beras dalam negeri pada 2010 sekitar 38 juta ton, yang berarti terdapat surplus 4 juta ton beras. Surplus ini hanya dapat menjadi cadangan untuk kebutuhan sekitar dua bulan. Kondisi yang hampir sama terjadi pada stok kebutuhan pokok lainnya. Dengan adanya berita penurunan produksi beras pada panen terakhir yang mencapai 30%, kita dapat saja mengalami ancaman kerawanan pangan dalam waktu dekat jika tidak segera ditangani dengan cepat.
Pangan dan Penduduk Usia Produktif
Penduduk Indonesia pada saat ini didominasi penduduk usia produktif (15-64 tahun). Jumlahnya sekitar 68% dan akan meningkat menjadi 70% pada 2020. Indonesia pada saat ini mulai menikmati ”bonus demografi” akibat keberhasilan program Keluarga Berencana di masa lalu. Bonus demografi sendiri merupakan suatu kondisi di mana angka ketergantungan menurun, sebagai akibat besarnya jumlah penduduk usia produktif dan mengecilnya porsi penduduk usia tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Kemampuan menabung masyarakat akan meningkat karena beban pembiayaan per individu menurun.
Namun tantangan yang ditimbulkan dari “bonus demografi” itu perlu dicermati dengan baik. Dari sisi permintaan, struktur penduduk menurut usia sangat mempengaruhi pola pangan. Penduduk usia produktif membutuhkan kalori yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif (anak-anak dan lanjut usia).
Tantangan pangan yang dihadapi Indonesia pada saat ini tentu berbeda dari kondisi hampir 30 tahun lalu, ketika kita mampu mencapai swasembada beras. Pada saat swasembada beras tahun 1984, penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia muda akibat tingginya angka kelahiran pada periode 1970-an. Indonesia berpotensi mengalami rawan pangan. Pendapatan mencukupi, tapi pangan yang tersedia kurang.
Petani Tua
Peningkatan produksi pangan nasional membutuhkan kenaikan produktivitas pertanian. Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja dan 53% angkatan kerja hanya berpendidikan SD ke bawah (BPS, 2008). Sekitar 72,4% petani hanya berpendidikan SD ke bawah (BPS, 2010). Produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian rendah akibat beban tenaga kerja yang berlimpah di sektor ini. Selain itu, data menunjukkan kecenderungan usia petani Indonesia semakin tua.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional BPS memperlihatkan kenaikan rata-rata usia pekerja di sektor pertanian. Pada 1990, rata-rata usia petani sekitar 38 tahun, naik menjadi 39 tahun (2001), terus naik menjadi 40 tahun (2005), dan kembali naik menjadi 41 tahun (2010). Padahal, pekerjaan di sektor pertanian membutuhkan kekuatan fisik. Kita butuh kenaikan produktivitas pangan, tetapi rata-rata usia petani semakin tua.
Selain itu, sektor pertanian menghadapi tantangan di mana sepertiga dari sekitar 42 juta pekerja di sektor pertanian berstatus pekerja keluarga/tidak dibayar. Artinya, sebagai petani, mereka tidak dibayar dan tidak memperoleh labor income. Belum lagi adanya kenyataan bahwa 15% petani berstatus pekerja bebas yang menempatkan profesi petani sebagai pekerjaan “sambilan”. Mereka hanya akan berada di sektor pertanian pada waktu tertentu.
Sebenarnya, di banyak negara maju, rata-rata usia petani yang semakin tua tidak menjadi masalah karena mekanisasi dan penguasaan teknologi yang sudah baik. Namun, di Indonesia, kapital per tenaga kerja di sektor pertanian relatif rendah dan cenderung stagnan dari waktu ke waktu. Bayangkan saja, seorang petani di Amerika Serikat dapat mengolah 20 hektare lahan pertanian dengan mesin traktor dan pemanen yang canggih, sedangkan di Indonesia petani “tua” tetap menggunakan cangkul atau sekadar dibantu kerbau untuk membajak sawah.
Sebagian besar generasi muda di Indonesia tidak berminat menjadi petani. Bahkan mereka lebih memilih menjadi ”tukang ojek” di desa ketimbang bercocok tanam. Hal inilah yang juga menjadi penyebab semakin menuanya rata-rata usia petani di Indonesia. Tanpa kapital yang memadai dan usia tenaga kerja yang semakin tua, apakah mudah untuk mendorong kenaikan produktivitas sektor pertanian, khususnya tanaman pangan?
Tantangan Pangan Pada Saat Ini
Tantangan pangan nasional pada saat ini sungguh berbeda dibandingkan dengan pada masa lalu. Dari sisi penawaran, produksi pangan menghadapi tantangan semakin menuanya usia petani dan tingginya konversi lahan akibat tekanan penduduk. Pada saat bersamaan, investasi di sektor pertanian masih rendah, sehingga akumulasi kapital di sektor ini juga rendah. Dengan usia petani yang menua dan kapital yang tidak meningkat, sulit untuk mendorong kenaikan produktivitas pertanian secara signifikan.
Data BPS tahun 2010 menunjukkan, sebanyak 38,3% pekerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. Padahal, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia (produk domestik bruto) hanya sekitar 15%. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian menanggung beban tenaga kerja yang terlalu berat, sehingga produktivitas dan pendapatan petani menjadi rendah. Hal ini menjadi salah satu sebab tidak tertariknya generasi muda untuk masuk dan bekerja di sektor pertanian. Belum lagi adanya kenyataan bahwa sekitar 72% pekerja di sektor pertanian hanya berpendidikan SD ke bawah.
Untuk menciptakan pendapatan yang lebih tinggi, sektor pertanian seharusnya tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Syaratnya, harus ada aliran investasi yang dapat menciptakan akumulasi kapital lebih besar di sektor ini. Nilai kapital per tenaga kerja pertanian harus meningkat secara signifikan. Karenanya, pemerintah perlu memikirkan strategi yang nyata untuk mendorong peningkatan investasi di sektor pertanian. Peningkatan kapital per tenaga kerja sektor pertanian juga akan mendorong kenaikan produktivitas, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan nasional akan aman dan kerawanan pangan dapat dihindari.
Di sisi permintaan, struktur penduduk menurut usia akan mempengaruhi kebutuhan dan pola pangan masyarakat kita. Sebanyak 42% penduduk Indonesia berada di kelompok umur 15 hingga 39 tahun. Untuk kelompok usia produktif ini, kebutuhan konsumsi pangannya cukup tinggi, terutama untuk sumber karbohidrat. Perencanaan kebutuhan pangan nasional harus mempertimbangkan pola pangan kelompok usia produktif ini. Tanpa mengaitkan pangan dengan penduduk, kerawanan pangan tentu dapat menjadi ilusi yang nyata.