Urbanisasi dan Strategi Employment-friendly
Fenomena masuknya pendatang baru ke berbagai kota besar di Indonesia, terutama ke ibukota, merupakan topik hangat yang selalu muncul pasca Lebaran. Migrasi masuk dari perdesaan dianggap oleh sebagian pembuat kebijakan justru dapat membebani kota. Bagaimana seharusnya para pembuat kebijakan menanggapi hal ini dengan bijak? Apa dampak yang ditimbulkan dari fenomena urbanisasi ini? Bagaimana strategi pembangunan pusat pertumbuhan baru untuk mengurangi laju urbanisasi?
Memahami Fenomena Urbanisasi
Urbanisasi didefinisikan sebagai proporsi penduduk perkotaan di suatu wilayah tertentu. Bertambahnya proporsi penduduk perkotaan terjadi akibat adanya dinamika kependudukan. Migrasi bersama dengan dua komponen lainnya, kelahiran dan kematian, mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah. Migrasi juga sering dikenal dengan istilah mobilitas penduduk. Jika mobilitas penduduk masuk lebih besar dibanding yang keluar dari perkotaan, jumlah penduduk perkotaan akan meningkat.
Apakah laju urbanisasi di Indonesia cepat? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa di tahun 1971, hanya 17,4 % penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan. Persentasenya meningkat drastis menjadi 43,1 % tahun 2005 dan diperkirakan mencapai 64,2% di tahun 2020. Ada dua penyebab tingginya angka urbanisasi di Indonesia yaitu aliran penduduk dari desa ke kota dan berubahnya status desa menjadi kota. Penduduk kota umumnya kurang berminat bermigrasi dibanding mereka yang tinggal di perdesaan.
Mobilitas penduduk desa ke kota yang tidak terkendali menyebabkan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dengan luas lahan kota yang tetap, masuknya pendatang secara massive akan menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan kota. Dampaknya ialah penurunan kualitas hidup penduduk kota. Masuknya pendatang secara terus-menerus juga akan menciptakan tekanan sosial dan ekonomi di perkotaan.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari fenomena urbanisasi. Pertama, alasan migrasi dari desa ke kota umumnya bekerja. Motif ekonomi menjadi alasan utama. Dorongan memperbaiki kondisi ekonomi senantiasa lebih dominan dibanding faktor lain dalam keputusan bermigrasi.
Kedua, mayoritas migran berpendidikan rendah. Lebih dari 50% angkatan kerja di Indonesia hanya berpendidikan SD ke bawah. Padahal, sektor formal di kota justru membutuhkan pekerja terampil dengan pendidikan tinggi. Terjadilah kondisi yang disebut spatial mismatch. Para migran sulit memperoleh pekerjaan di sektor formal perkotaan dan masuk ke pasar kerja sektor informal. Tekanan di pasar kerja informal menyebabkan rendahnya upah di sektor ini. Kelompok migran ini rentan menjadi miskin. Belum lagi adanya kaum migran yang gagal memperoleh pekerjaan. Selain mudah menjadi miskin, mereka berpotensi menimbulkan berbagai masalah sosial.
Ketiga, sebenarnya perpindahan penduduk desa ke kota memiliki pola yang relatif sama dari waktu ke waktu. Daerah pengirim migran ke suatu kota relatif sama. Ini terjadi karena ada fenomena migrasi berantai (chain migration). Mereka yang memutuskan untuk bermigrasi ke kota memperoleh informasi dari teman maupun sanak saudara yang sebelumnya telah bermigrasi ke kota. Rantai koneksi ini menyebabkan munculnya migrasi berantai.
Keempat, pola migrasi desa-kota tidak terlepas dari pembangunan yang timpang antar wilayah. Distribusi penduduk antar daerah juga tidak merata. Sejak jaman sebelum kemerdekaan hingga hari ini, distribusi penduduk antar pulau di Indonesia relatif sama. Ini menunjukkan bahwa pusat aktifitas ekonomi juga relatif tetap. Sekitar 57% penduduk tinggal di Jawa, 21% di Sumatera, 5% di Kalimantan, 7% di Sulawesi dan sisanya di pulau-pulau lainnya. Ketimpangan pembangunan desa-kota juga menjadi pemicu laju urbanisasi.
Pusat Pertumbuhan Baru?
Penanganan urbanisasi harus dilakukan secara komprehensif dan tidak bersifat ad hoc. Membangun pusat pertumbuhan baru akan mengurangi laju urbanisasi dan mendorong persebaran aktifitas ekonomi serta penduduk yang lebih merata secara spasial. Ada beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, mendorong investasi perdesaan. Selama investasi perdesaan masih rendah, maka peluang kerja di perdesaan terbatas di sektor pertanian dan pemerintahan saja. Tidak banyak pilihan pekerjaan. Investasi selama ini cenderung bias perkotaan. Menahan penduduk desa untuk tidak berpindah ke kota dengan cara membangun desa. Rendahnya nilai tukar petani menyebabkan bekerja sebagai petani bukanlah pilihan yang menarik bagi kelompok muda perdesaan. Kelompok muda perdesaan inilah yang berpotensi mengalir ke kota. Pusat pertumbuhan baru justru dibutuhkan di desa, terutama di luar Jawa. Hal ini juga untuk menarik aliran migrasi dari Jawa ke luar Jawa.
Kedua, karena pola migrasi bisa ditelusuri secara spasial, maka perlu ada kerjasama antara pemerintah daerah (pemda) pengirim dan penerima migran. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mengidentifikasikan daerah asal migran. Atas dasar identifikasi tersebut, bentuk kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan pemda pengirim dapat ditentukan. Bisa dalam bentuk advokasi, registrasi perpindahan, membangun desa pengirim migran, dan sebagainya. Sebagian migran ke kota justru gagal memperoleh penghidupan yang lebih baik. Pemda harus mengadvokasi penduduknya tentang potensi-potensi kegagalan ini. Kerjasama juga dapat memfasilitasi calon migran untuk mengalir ke pusat pertumbuhan baru.
Ketiga, penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru perlu dilakukan dengan merancang pertumbuhan ekonomi lokal yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan, khususnya pekerja berpendidikan rendah. Strategi pertumbuhan yang employment-friendly ini perlu mengenali lebih jauh karakteristik angkatan kerja perdesaan.
Keempat, upah bukan satu-satunya faktor yang menentukan keputusan seseorang untuk bermigrasi. Masih ada yang bersifat non pecuniary factors terutama karena kota menawarkan kualitas hidup yang lebih baik. Membangun desa bukan kemudian diartikan merubah desa menjadi kota. Namun menyediakan infrastruktur kota di perdesaan, sehingga penduduk desa dapat menikmati kualitas hidup yang sama baiknya dengan kota.
Kita berharap, Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah dicanangkan pemerintah dapat mengakomodir isu-isu di atas. Menahan laju urbanisasi bukanlah pekerjaan mudah. Namun, strategi mengatasinya seharusnya bukan strategi yang mudah untuk gagal. Membangun pusat pertumbuhan secara tepat dapat mencegah menurunnya daya saing kota-kota Indonesia di masa mendatang.