Anjloknya Peringkat IPM Indonesia
Di Copenhagen, Denmark, 2 November lalu, Administrator United Nations Development Programme (UNDP), Helen Clark, bersama Perdana Menteri Denmark, Helle Thorning-Schmidt, meluncurkan laporan pembangunan manusia tahun 2011. Laporan ini memuat capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di 187 negara. Yang mengejutkan, peringkat IPM Indonesia anjlok dari 108 pada 2010 menjadi peringkat ke-124.
Sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan bijak. Ukuran kinerja pembangunan dunia telah bergeser, dari pembangunan yang fokus pada kinerja pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan berorientasi manusia. UNDP mengungkapkan bahwa pembangunan manusia merupakan suatu proses untuk memperbanyak pilihan bagi penduduk, kebebasan untuk hidup lebih sehat, lebih berpendidikan, dan menikmati standar hidup yang layak.
Sejak pertama kali laporan pembangunan manusia diluncurkan UNDP, selalu muncul berbagai perdebatan dan kontroversi, baik secara teknis perhitungan IPM maupun non-teknis. IPM merupakan indeks komposit yang mencakup tiga dimensi, yaitu kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi (pendapatan). Pada awalnya, IPM disusun seorang ekonom asal Pakistan, Mahbub ul-Haq, yang merumuskannya bersama beberapa ahli lainnya, termasuk Amartya Sen (peraih Nobel Ekonomi).
Dalam IPM, kesehatan menggunakan indikator angka harapan hidup. Asumsinya, penduduk yang sehat akan semakin panjang usianya. Akses terhadap pengetahuan (pendidikan) diukur dengan dua indikator, yaitu rata-rata lamanya sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas selama hidupnya dan ekspektasi lamanya sekolah bagi anak-anak. Sedangkan standar hidup diukur dari indikator kemampuan daya beli penduduk yang dihitung dari gross national income (GNI) alias pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita dalam harga konstan.
Dengan beberapa indikator tersebut, kita dapat mengidentifikasikan seberapa besar tantangan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesempatan penduduk untuk pengembangan diri yang lebih baik dan hidup dengan layak. IPM Indonesia pada 2011 berada di peringkat ke-124, di bawah beberapa negara seperti Palestina (114), Maladewa (109), Bosnia-Herzegovina (74), dan Libya (64).
Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, Indonesia masih lebih baik dalam hal peringkat IPM dibandingkan dengan India yang hanya berperingkat ke-134. Sedangkan Cina berada di posisi ke-101 dan Amerika Serikat menempati peringkat ke-4. Perbandingan IPM tahun 2010 dan 2011 untuk 10 negara anggota ASEAN, hanya Singapura dan Brunei Darussalam yang mengalami kenaikan peringkat IPM.
Singapura naik satu tingkat, dari posisi ke-27 ke peringkat ke-26. Sedangkan Brunei Darussalam naik peringkat dari posisi ke-37 pada tahun lalu menjadi peringkat ke-33 pada 2011 ini. Indonesia bersama Laos menjadi dua negara anggota ASEAN yang mengalami penurunan peringkat paling besar, turun 16 peringkat. Dibandingkan denga tahun lalu, Indonesia masih menduduki peringkat ke-6 untuk lingkup ASEAN di bawah Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (103), dan Filipina (112).
Perhitungan IPM non-pendapatan (hanya menggunakan indikator kesehatan dan pendidikan) menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-121 atau sedikit lebih baik ketimbang IPM dengan pendapatan. Namun indikator pendidikan Indonesia hanya menduduki peringkat ke-133 dari 187 negara. Rata-rata lamanya bersekolah penduduk usia 25 tahun ke atas di Indonesia hanya 5,8 tahun.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 9,5 tahun. Sebagai gambaran perbandingan, rata-rata lamanya bersekolah penduduk di seluruh dunia mencapai 7,4 tahun. Sedangkan untuk bidang kesehatan yang diukur dari usia harapan hidup, Indonesia berada di peringkat ke-114 dari 187 negara.
Kinerja pembangunan manusia Indonesia turun?
Meskipun peringkat IPM tampaknya “menurun drastis”, sesungguhnya Indonesia tidak mengalami penurunan kinerja pembangunan manusia. Hal ini bisa dilihat dari tren IPM Indonesia yang terus naik dari tahun ke tahun. Naik dari 0,613 pada 2010 menjadi 0,617 pada 2011. Bahkan, dibandingkan dengan enam negara ASEAN yang peringkat IPM-nya lebih tinggi, Indonesia berhasil mencapai pertumbuhan IPM yang jauh lebih tinggi selama periode 2000-2011. Secara rata-rata, IPM Indonesia tumbuh 1,17% per tahun. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan IPM dunia yang hanya mencapai angka 0,66% per tahun.
Satu hal yang perlu dicatat, membandingkan peringkat IPM Indonesia tahun 2010 dengan 2011 sebenarnya tidaklah tepat secara metodologi. Ada dua alasan utama mengapa kita tidak dapat membandingkan peringkat IPM tahun 2010 dengan 2011. Pertama, penurunan peringkat IPM Indonesia tidak terlepas dari masuknya 18 negara baru dalam perhitungan IPM tahun 2011. Jika pada 2010 hanya 169 negara yang masuk pemeringkatan, tahun 2011 ini memperhitungkan peringkat 187 negara. Membandingkan peringkat tahun 2010 dan 2011 dengan jumlah negara yang berbeda tentu tidaklah tepat.
Kedua, IPM 2011 menggunakan cara perhitungan yang berbeda dibandingkan dengan IPM 2010. Perbedaannya ada pada penggunaan rata-rata lamanya bersekolah penduduk usia 25 tahun ke atas dan ekspektasi lamanya bersekolah anak-anak. Sebelumnya, digunakan literacy rate dan gross enrollment rate untuk indikator pendidikan. Perbedaan lainnya ialah dalam cara perhitungan GNI.
Indikator GNI memang digunakan sejak tahun 2010. Namun perhitungan GNI untuk IPM 2010 menggunakan tahun dasar 2008, sedangkan perhitungan IPM 2011 menggunakan GNI dengan tahun dasar 2005. Perbedaan tahun dasar ini menyebabkan adanya perbedaan harga dasar yang digunakan. Tentu harga dasar 2008 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005 karena adanya inflasi. Dampaknya, seolah-olah kinerja pendapatan per kapita pada 2011 kurang bagus.
Seharusnya menilai kinerja pembangunan manusia tidak hanya dengan membandingkan peringkat IPM, melainkan juga tren dan pertumbuhan IPM per tahun. Untuk menghindari kontroversi yang muncul dari publikasi IPM 2010 dan 2011, UNDP mengeluarkan sebuah research paper yang ditulis Klugman, Rodriguez, dan Choi yang menjelaskan cara baru perhitungan IPM.
Perbedaan cara perhitungan IPM 2010 dan 2011 itu tentu membawa konsekuensi bahwa IPM pada dua tahun tersebut tidak dapat dibandingkan. Namun pemerintah tetap perlu menyikapinya dengan bekerja lebih keras. Hal ini mengingatkan kita bahwa Indonesia masih berada di bawah 123 negara lainnya dalam hal capaian pembangunan manusia. Pemerintah perlu menyusun strategi terobosan dan tidak menghadapinya secara business as usual. Setidaknya ada empat strategi untuk mendorong perbaikan IPM Indonesia.
Pertama, dalam hal kesehatan, usia harapan hidup dipengaruhi besarnya angka kematian di setiap kelompok umur, terutama pada kelompok umur bayi (di bawah satu tahun). Penurunan angka kematian bayi bisa dilakukan dengan merevitalisasi program Keluarga Berencana (KB) secara massif bersama program kesehatan lainnya. KB tidak hanya dimaknai dalam perspektif pengendalian jumlah penduduk, melainkan juga menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Kedua, rendahnya rata-rata lamanya bersekolah menunjukkan rendahnya kemampuan melanjutkan pendidikan bagi penduduk kita. Berharap agar kelompok usia di atas 25 tahun mengenyam pendidikan lebih tinggi relatif mustahil. Namun kita perlu memperhatikan bagaimana penduduk usia di bawah 25 tahun mampu melanjutkan sekolah. Selama jumlah sekolah menengah pertama (SMP) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sekolah dasar (SD), tentu sulit berharap program wajib belajar sembilan tahun dapat berhasil.
Salah satu terobosan yang bisa dilakukan, misalnya, dengan menggabungkan SD dan SMP dalam satu atap. Keterbatasan infrastruktur SMP bisa diatasi dengan mengembangkan fasilitas SD yang rata-rata telah tersedia hampir di seluruh desa. Penggabungan ini juga dapat memotong biaya transaksi yang harus dikeluarkan para orangtua. Melanjutkan dari SD ke SMP membutuhkan biaya tidak sedikit. Mulai biaya pendaftaran, biaya mencari sekolah, hingga biaya-biaya lain yang cukup banyak.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi tetap menjadi prasyarat peningkatan daya beli penduduk. Namun pertumbuhan ekonomi yang inklusif (dinikmati seluruh penduduk) menjadi hal terpenting. Pertumbuhan ekonomi kita ditopang oleh sektor-sektor yang penyerapan tenaga kerjanya rendah. Ini tentu akan mengurangi kemampuan inklusivitas pertumbuhan ekonomi.
Sektor pertanian yang dihuni mayoritas pekerja justru tidak mampu tumbuh secara signifikan. Perlu terobosan investasi pertanian dan pedesaan. Selain itu, teknologi tepat guna perdesaan perlu dihidupkan kembali. Rendahnya kemampuan adaptasi petani terhadap perubahan iklim global membutuhkan perhatian khusus dari para pengambil kebijakan. Jika dibiarkan, produktivitas pertanian sulit diharapkan meningkat secara signifikan.
Keempat, pengalaman beberapa negara menunjukkan, perkembangan IPM yang stagnan dapat disebabkan data yang disampaikan kepada pihak UNDP tidak diperbarui secara reguler. Contoh kasus IPM Timor Leste yang berada di peringkat ke-147. Indikator pendidikannya tidak berubah karena menggunakan data tahun 2001. Karena itu, pemerintah perlu secara reguler memperbarui data dan menyampaikannya ke UNDP untuk digunakan dalam perhitungan IPM terbaru.
Kita berharap, pembangunan manusia di Indonesia terus mengalami perkembangan yang cepat. Mengejar ketertinggalan pembangunan manusia bukanlah hal yang sederhana dan membutuhkan waktu cukup panjang. Pembangunan fisik, termasuk infrastruktur, tetap harus berorientasi dan dikaitkan dengan pembangunan manusia. Tanpa mengaitkan keduanya, penduduk hanya akan menjadi “penonton pasif” dalam pembangunan.