Fakta dan Logika Kependudukan Indonesia

Dimuat Dalam Kolom Opini Media Indonesia, 12 Desember 2011.

Para pembuat kebijakan di negeri ini masih menempatkan politik dan ekonomi sebagai “panglima” pembangunan. Padahal, aspek kependudukan seharusnya menjadi pijakan dasar pembangunan.

Pembangunan mesti berwawasan kependudukan dengan mengintegrasikan berbagai variabel kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Tantangan Indonesia dengan struktur penduduk yang kini didominasi usia produktif (15—64 tahun) berbeda dengan 30 tahun lalu (didominasi penduduk usia muda, di bawah 15 tahun). Persebaran penduduk yang berbeda antardaerah tentunya juga akan berdampak pada indeks kemahalan pembangunan daerah.

Dalam tiga abad, jumlah penduduk Indonesia naik empat kali lipat pada abad ke-17 (tahun 1600-an), jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 10 juta jiwa. Pada awal abad ke-20, naik menjadi 40 juta jiwa. Dengan penduduk tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa (sensus penduduk 2010, BPS). Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal jumlah penduduk. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode 2000—2010 mencapai angka 1,49%.

Apakah angka ini tinggi? Jawabannya jelas tinggi. Karena, pada saat yang bersamaan laju pertumbuhan penduduk dunia hanya sekitar 1,2% dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk negara berkembang hanya 1,4%. Tingginya angka kelahiran juga tercermin dari jumlah bayi yang lahir setiap hari secara rata-rata mencapai sekitar 12 ribu bayi.

Mungkin di antara kita pernah terpikir bahwa Indonesia masih luas wilayahnya, dan daya tampung lingkungan masih sangat memadai, sehingga lonjakan penduduk tidak perlu dikhawatirkan. Namun faktanya, kepadatan penduduk Indonesia per kilometer persegi justru jauh lebih tinggi dibanding tingkat kepadatan penduduk dunia. Data Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) tahun 2010 mencatat bahwa rata-rata kepadatan penduduk dunia hanya 51 jiwa per kilometer persegi, padahal Indonesia sudah mencapai angka 122 jiwa per kilometer persegi. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang pun (sebesar 68/km persegi), Indonesia masih jauh lebih tinggi.

Hal lain yang menarik untuk dicermati ialah adanya kaitan antara persebaran penduduk antarpulau dan peranan ekonomi. Hampir 58% penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dan kontribusi Jawa terhadap perekonomian nasional sekitar 60%. Sumatera yang dihuni 21% penduduk memberikan kontribusi ekonomi 21% juga. Begitu pula kontribusi Papua sekitar 1,28%, dimana terdapat 1,24% penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah itu. Ini menjadi sinyal bahwa persebaran penduduk antarpulau terkait dengan distribusi ekonomi.

Program KB
Masih rendahnya kualitas penduduk Indonesia, yang tecermin dari rendahnya peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia (peringkat 124 dari 187 negara) tidak terlepas dari lemahnya pembangunan kependudukan, terutama keluarga berencana (KB). Program KB tidak lagi menjadi prioritas. Persepsi setiap kepala daerah terhadap program KB beragam.

Hasil sensus penduduk 2010 menunjukkan rata-rata usia kawin pertama justru cenderung menurun (lebih muda) menjadi sekitar 19 tahun. Putus sekolah mendorong orang untuk menikah muda. Semakin muda menikah, semakin besar peluang memiliki banyak anak. Hal ini akan diperparah oleh kondisi tanpa pelayanan KB. Dampaknya, resiko kematian ibu, bayi, dan anak juga akan meningkat. Ini dapat berpengaruh terhadap pencapaian IPM dan millenium development goals (MDGs).

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan pada tahun 2012 akan dialokasikan anggaran sebesar Rp600 miliar untuk alat dan obat kontrasepsi. Jumlah pasangan usia subur di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 45 juta pasangan. Berarti jika di rata-rata, setiap pasangan hanya dianggarkan sekitar Rp13 ribu dalam setahun. Tentunya ini belum memadai. Hal ini semakin diperparah dengan rendahnya alokasi anggaran KB di tingkat kabupaten/kota. Komitmen pembangunan kependudukan harus tecermin dari komitmen anggaran. Komitmen pembangunan kependudukan harus ada di setiap jenjang pemerintahan, dari mulai pemerintah pusat hingga di daerah.

Sinkronisasi UU
Namun, perlu disadari, lemahnya implementasi program KB di daerah akibat tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengamanatkan terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Namun, ini tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP ini diatur bahwa kependudukan serumpun dengan pencatatan sipil, dan KB serumpun dengan pemberdayaan perempuan. Kependudukan dan KB dianggap dua urusan yang tidak serumpun. Dampaknya hingga hari ini belum ada daerah yang membentuk BKKBD setelah 2 tahun UU No. 52 Tahun 2009 diterbitkan. Ini memperlemah implementasi program KB dan kependudukan di daerah. (Sumber: Lampung Post, 19 Desember 2011).