Energi dan Penduduk

Dimuat Dalam Kolom Opini Gatra No. 24 Tahun XVIII, 19-25 April 2012.

Isu energi begitu penting bagi Indonesia, menyangkut hajat hidup orang banyak. Kontroversi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di akhir Maret lalu menunjukkan sinyal bahwa isu energi dapat mempengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Munculnya ketidakpastian di pasar minyak dunia, terutama saat terjadi krisis geopolitik dan ekonomi, dengan mudah berimbas ke Indonesia. Ini mencerminkan betapa rentannya ketahanan energi nasional. Rentan dari perubahan global tanpa mampu berbuat banyak. Ketahanan energi yang mencakup ketersediaan energi, kemudahan akses ke energi, daya beli masyarakat, serta pemanfaatan jenis energi yang tidak merusak lingkungan mutlak dibutuhkan bagi negara sebesar Indonesia.

Situasi dan Kebijakan Energi
Faktanya saat ini Indonesia sudah melewati masa puncak produksi minyak (sekitar akhir tahun 1970-an melalui primary recovery), dan sedang berjuang keras untuk menahan penurunan produksi alami melalui secondary dan tertiary recovery. Sejak tahun 2004 lalu Indonesia menjadi negara net importer minyak bumi. Konsekuensinya, fluktuasi harga serta ketersediaan pasokan minyak dunia mempengaruhi ketahanan energi Indonesia.

Bauran energi primer Indonesia sekitar 95 persen masih mengandalkan energi fosil, dan hanya 5 persen mengandalkan energi baru dan terbarukan. Peran minyak bumi dianggap masih terlalu dominan dalam bauran energi primer (mencapai 50 persen). Dominasi ini lebih disebabkan karena sifatnya yang secara alami berbentuk cair (liquid) sehingga mudah untuk digunakan, khususnya di sektor transportasi dan rumah tangga. Selama periode akhir 2010 hingga akhir 2011, realisasi lifting minyak cenderung lebih rendah dari yang ditargetkan. Hanya mencapai angka 899 ribu barel per hari dari target 945 ribu barel per hari. Sedangkan kebutuhan minyak dalam negeri mencapai sekitar 1,2 juta barel perhari di tahun 2011.

Selain isu harga dan bauran energi primer, isu lainnya ialah adanya paradigma klasik kebijakan energi yang lebih banyak mempertimbangkan sisi suplai ketimbang sisi permintaan. Salah satu buktinya, dari sekian banyak badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang energi, hanya satu BUMN yang fokus pada sisi permintaan, yaitu PT. Energy Management Indonesia (Persero). Sejak 5 tahun terakhir, kebijakan energi nasional mulai diarahkan untuk shifting dari supply side policy menjadi demand side policy. Kebijakan di sisi permintaan dalam bentuk konservasi, efisiensi, dan diversifikasi energi mulai digunakan, sebagai respon peningkatan kebutuhan energi dan semakin mahalnya harga energi dunia. Langkah-langkah konservasi dan efisiensi dilakukan untuk menghindari pemborosan. Langkah-langkah diversifikasi mulai dilakukan untuk mencari bahan bakar yang tepat untuk kondisi-kondisi tertentu. Salah satu program yang dianggap sukses dalam diversifikasi adalah alih penggunaan minyak tanah ke LPG.

Kebijakan energi di sisi permintaan harus didasarkan pada situasi kependudukan, karena elemen pengguna dari hulu hingga hilir value-chain energi adalah penduduk. Oleh karenanya, kependudukan menjadi salah satu kunci terpenting kebijakan ketahanan energi nasional. Tanpa analisis kependudukan yang komprehensif, langkah-langkah pengelolaan energi, dari konservasi sampai hingga diversifikasi dapat menjadi sia-sia. Tidak hanya dilihat dari jumlah penduduk tetapi situasi kependudukan secara keseluruhan.

Faktor Kependudukan
Salah satu penyebab rentannya ketahanan energi nasional ialah ketidakmampuan penawaran mengikuti naiknya kebutuhan energi nasional. Kenaikan permintaan energi secara terus menerus tanpa diikuti kenaikan penawaran akan menyebabkan naiknya harga (penurunan daya beli) dan sulitnya akses energi. Padahal, permintaan energi penduduk Indonesia diperkirakan akan melonjak dalam beberapa tahun ke depan. Antisipasi terhadap “ledakan” konsumsi energi masa depan perlu dipahami dalam perspektif kependudukan.

Ada beberapa fakta kependudukan yang dapat menjelaskan mengapa konsumsi energi nasional akan cenderung naik secara cepat. Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa dengan rata-rata pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2010 mencapai 1,49 persen pertahun. Tambahan penduduk menciptakan tambahan kebutuhan energi. Selama periode 2000-2010, penduduk Indonesia bertambah 32,5 juta jiwa dan konsekuensinya jelas bahwa permintaan energi akan bertambah mengikuti jumlah penduduk.

Kedua, perubahan struktur umur penduduk berpengaruh terhadap konsumsi energi. Tiga puluh tahun yang lalu Indonesia masih didominasi penduduk usia muda, dimana kebutuhan energi belum terlalu besar. Namun saat ini kondisinya jauh berbeda. Sekitar 66 persen penduduk Indonesia berada dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun). Penduduk usia produktif cenderung mengonsumsi energi dalam jumlah yang besar. Mereka membutuhkan energi yang lebih banyak untuk mendukung produktifitasnya.

Data Badan Pusat Statistik dari survei sosial ekonomi nasional (Susenas) tahun 2008, modul konsumsi, menunjukkan bahwa ada perbedaan pola konsumsi energi untuk setiap kelompok umur. Rumah tangga dengan rata-rata umur anggotanya antara 21 hingga 30 tahun ternyata mengonsumsi energi paling besar dibanding kelompok umur lainnya. Padahal, median umur penduduk Indonesia saat ini sekitar 27,2 tahun (hasil Sensus Penduduk 2010). Dengan struktur umur penduduk Indonesia seperti ini, konsumsi energi penduduk sangat besar dan akan cenderung terus naik hingga mencapai puncaknya sekitar 15 tahun lagi (ketika median umur penduduk Indonesia mendekati 30 tahun). Dalam demografi, penduduk suatu negara dikategorikan penduduk muda bila median umur < 20, penduduk menengah jika median umur 20-30, dan penduduk tua jika median umur > 30 tahun. Ketika median umur penduduk berada dalam kategori menengah, konsumsi energi cenderung mencapai puncaknya.

Ketiga, penduduk perkotaan cenderung mengonsumsi energi lebih besar dibanding penduduk perdesaan. Bahkan untuk konsumsi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) mencapai hampir dua kali lipat perbedaannya. Indonesia saat ini mengalami kondisi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Jumlah penduduk perkotaan lebih besar dibanding penduduk perdesaan. Sekitar 54 persen penduduk Indonesia saat ini tinggal di perkotaan. Bahkan diproyeksikan di tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 68 persen. Hal ini harus menjadi perhatian serius dalam kebijakan energi nasional. Semakin banyak proporsi penduduk tinggal di kota, semakin besar kecenderungan permintaan energinya.

Keempat, terkait pendidikan penduduk. Semakin tinggi pendidikan penduduk, semakin besar konsumsi energinya. Berdasarkan data Susenas 2008, anggota rumah tangga dengan rata-rata pendidikan sekolah menengah atas (SMA) ke atas mengonsumsi listrik hampir tiga kali lipat serta mengonsumsi BBM sekitar dua kali lipat dibanding rumah tangga dengan rata-rata pendidikan sekolah dasar. Setidaknya ini mengindikasikan bahwa di masa mendatang, dengan rata-rata pendidikan penduduk Indonesia yang terus meningkat, kebutuhan energi rumah tangga akan terus meningkat.

Kelima, faktor semakin tingginya mobilitas penduduk antar daerah. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa sekitar 5,4 juta penduduk (2,5 persen penduduk Indonesia) selama lima tahun terakhir melakukan migrasi antar provinsi. Belum lagi adanya revolusi mobilitas yang menyebabkan pergerakan penduduk antar daerah semakin cepat. Adanya low cost carrier ditambah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan keputusan bermigrasi menjadi semakin mudah. Tidak mengherankan mobilitas penduduk semakin tinggi dan berdampak pada tingginya kebutuhan energi untuk transportasi.

Keenam, terkait dengan pendapatan penduduk. Dengan pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang terus meningkat (saat ini sekitar 3600 dolar AS), diperkirakan kebutuhan energi penduduk juga akan meningkat. Dengan target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen dan pertumbuhan penduduk di bawah 1,5 persen, maka dapat diperkirakan tidak sampai 15 tahun lagi, pendapatan perkapita penduduk Indonesia akan mencapai dua kali lipat pendapatan perkapita saat ini. Data Susenas 2008 juga mengkonfirmasi bahwa semakin tinggi pengeluaran (proksi untuk pendapatan) rumah tangga, kecenderungannya semakin tinggi pula pengeluaran untuk energi. Sebagai gambaran, rumah tangga dengan pengeluaran perkapita sekitar 2 – 4 juta rupiah perbulan mengonsumsi listrik 6 kali lipat lebih besar dibanding rumah tangga dengan pengeluaran per kapita 250 ribu rupiah per bulan. Bahkan, untuk konsumsi BBM hampir 10 kali lipat lebih besar untuk perbandingan rumah tangga yang sama.

Analisis di atas baru sebatas memperhitungkan pengeluaran energi rumah tangga secara langsung untuk listrik, transportasi, dan memasak. Padahal, masih banyak pengeluaran non-energi rumah tangga yang sebetulnya mengandung unsur pengeluaran energi seperti pengeluaran untuk hiburan/rekreasi, makanan jadi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Artinya, pengeluaran energi penduduk akan lebih besar jika memperhitungkan hal tersebut.

Berbagai fakta kependudukan terkait energi yang telah diuraikan sebelumnya, memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa Indonesia akan menghadapi peningkatan kebutuhan energi dengan sangat cepat di masa mendatang. Bayangkan saja, walaupun seandainya pertumbuhan penduduk 0 persen, namun jika struktur umur penduduk semakin didominasi usia produktif, mayoritas penduduk tinggal di kota, berpendidikan lebih tinggi, mobilitas lebih tinggi, dan berpendapatan lebih tinggi, maka lonjakan kebutuhan energi tidak dapat dihindari. Tentunya tanpa peningkatan suplai energi untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan, Indonesia akan menghadapi kerentanan energi yang berdampak pada ketahanan nasional.

Perubahan situasi kependudukan, secara alamiah akan mendorong peningkatan kebutuhan energi nasional. Kita tidak bisa hanya berkutat dengan kebijakan sisi penawaran saja. Kebijakan sisi permintaan juga semestinya tidak dimaknai sekedar konservasi dan efisiensi pemanfaatan oleh penduduk serta diversifikasi energi saja. Tanpa memperhatikan variabel kependudukan, niscaya kebijakan energi nasional tidak akan mampu mengantisipasi “ledakan” permintaan energi di masa mendatang.