Perkawinan dan Kehamilan Remaja
Hari Kependudukan Sedunia yang diperingati tiap 11 Juli tentu bermakna sebagai refleksi bagi kita semua akan pentingnya aspek kependudukan dalam pembangunan. Pengabaian atas kependudukan akan menciptakan konsekuensi jangka panjang.
Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) menetapkan “Kehamil- an Remaja” sebagai tema Hari Kependudukan Sedunia 2013. Dasarnya adalah kenyataan bahwa perkawinan dan kehamilan remaja perempuan masih menjadi masalah besar di dunia, khususnya di negara berkembang.
Perkawinan dan kehamilan remaja mengandung sejumlah risiko buruk dalam jangka panjang. Pertama, dengan rentang usia reproduksi yang masih panjang (umumnya hingga 49 tahun), perempuan yang menikah dan hamil di usia remaja akan berpeluang memiliki anak dalam jumlah banyak pada akhir usia reproduksinya. Melahirkan anak dalam jumlah banyak dengan sendirinya akan berisiko kematian ibu yang lebih tinggi.
Kedua, kehamilan dan persalinan bagi perempuan usia di bawah 20 tahun berisiko kematian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usia 20 tahun ke atas. Tak hanya sang ibu, juga anak yang dilahirkan memiliki risiko kematian atau cacat yang tinggi.
Ketiga, perkawinan dan kehamilan di usia remaja menghambat perempuan menempuh pendidikan lebih tinggi.
Remaja adalah masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Tidak ada definisi universal tentang batasan umur remaja, namun PBB menggunakan definisi remaja untuk penduduk kelompok umur 10-19 tahun. Saat ini diperkirakan terdapat 1,2 miliar remaja di seluruh dunia: sekitar 90 persen remaja tinggal di negara berkembang dan 60 persen ada di Asia. Dari jumlah remaja di dunia, 600 juta di antaranya adalah perempuan.
UNFPA mengingatkan kita semua bahwa kehamilan remaja bukanlah sekadar isu kesehatan. Ia juga isu pembangunan dalam arti luas. Ini berakar dari masalah kemiskinan, ketaksetaraan gender, rendahnya pendidikan, serta faktor sosial lainnya. Karena itu, masalah perkawinan dan kehamilan remaja membutuhkan penyelesaian yang bersifat multidimensi.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, BPS mencatat ada sekitar 43,4 juta remaja remaja di Indonesia (18,3 persen penduduk) dengan komposisi remaja laki-laki dan perempuan relatif berimbang.
Yang cukup mengejutkan ialah bila kita melihat data BPS 2010 tentang umur perkawinan pertama di Indonesia. Sebanyak 12 persen perempuan ternyata sudah/pernah menikah di usia 10 hingga 15 tahun. Selain itu, sebanyak 32 persen perempuan yang pernah menikah melakukan pernikahan pertamanya di usia 16-18 tahun. Artinya, sekitar 45 persen perempuan Indonesia sudah/pernah menikah pada usia di bawah 19 tahun. Konsekuensinya tentu masih banyak kehamilan dan persalinan di Indonesia yang terjadi pada perempuan saat usia mereka masih remaja.
Peran pendidikan
John Bongaarts, pakar demografi dari The Population Council, mengingatkan pentingnya peran pendidikan menekan angka perkawinan dan kehamilan remaja, khususnya di negara yang didominasi penduduk usia muda. Besarnya angka putus sekolah akan berimplikasi terhadap perkawinan dini. Pertanyaan mendasarnya ialah apa hubungan antara putus sekolah dan perkawinan dan kehamilan di kalangan remaja?
Sebagian dari kita mungkin beranggapan bahwa kehamilan di luar nikah menjadi penyebab putus sekolah bagi remaja perempuan. Padahal, kenyataannya, putus sekolah yang dialami para remaja perempuan justru menjadi penyebab perkawinan dan kehamilan dini. The Population Council (2009) mengungkapkan bahwa perkawinan dan kehamilan terjadi tidak lama setelah para remaja perempuan drop out dari sekolah mereka. Keberlanjutan pendidikan merupakan instrumen penting mengatasi masalah perkawinan dan kehamilan di kalangan remaja perempuan.
Dalam konteks Indonesia, ketika sebagian besar institusi pemerintah dihadapkan pada keterbatasan anggaran, sektor pendidikan tidak demikian. Besarnya alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945 pasca-amandemen menjadi kelebihan yang harus dimanfaatkan mempercepat capaian pendidikan nasional.
Untuk menekan angka perkawinan dan kehamilan remaja, pemerintah harus mampu secara cepat memberi respons, salah satunya melalui pendidikan. Apa langkah yang dibutuhkan?
Untuk menekan angka perkawinan dan kehamilan remaja, pemerintah harus mampu secara cepat memberi respons, salah satunya melalui pendidikan. Apa langkah yang dibutuhkan?
Pertama, dengan mengidentifikasi penyebab utama putus sekolah. Beberapa penyebab putus sekolah adalah kemiskinan, nilai/prestasi yang buruk, masalah kesehatan, jarak ke sekolah yang jauh, kualitas sekolah yang buruk, tidak tersedianya sekolah untuk jenjang yang lebih tinggi, maupun persepsi orang tua yang menganggap pendidikan kurang penting.
Kedua, merespons penyebab putus sekolah dengan kebijakan yang tepat dalam konteks kebutuhan lokal. Bukan dengan nation wide program, namun lebih bersifat geographical targeted.
Setiap solusi yang diajukan tentu layak diperdebatkan. Namun, ada beberapa langkah strategis yang dapat diambil. Misalnya saja, untuk pendidikan yang lebih terjangkau bagi keluarga miskin, apakah murid sekolah perlu memakai seragam? Buku tidak perlu berganti edisi setiap tahun. Jarak yang terlalu jauh ke sekolah bisa diatasi dengan memperbanyak boarding school atau menyediakan kendaraan khusus bagi para pelajar. Jumlah SMP yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah SD bisa diatasi dengan mengembangkan SD dan SMP satu atap di daerah terpencil.
Keberpihakan
Secara khusus dibutuhkan keberpihakan terhadap pendidikan bagi remaja perempuan. Conditional cash transfer dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) semestinya tak sekadar ditujukan bagi keluarga sangat miskin, namun juga mencakup prasyarat kesetaraan pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan. Tanpa ada kebijakan yang jelas tegas, PKH tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan perempuan dan pada akhirnya ini sulit menurunkan angka perkawinan dan kehamilan remaja.
Perkawinan dan kehamilan remaja menciptakan konsekuensi logis jangka panjang yang buruk bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Kita berharap pemerintah dapat segera menyusun langkah strategis yang komprehensif sehingga di masa mendatang tidak akan lagi ada istilah “lebih baik menjadi janda muda ketimbang perawan tua”.