Refleksi Hari Kependudukan
Ditetapkan oleh PBB sejak 1989, Hari Kependudukan Sedunia (World Population Day) diperingati setiap 11 Juli. Sebuah momentum penting untuk menggugah kesadaran kita tentang dinamika kependudukan dan konsekuensinya terhadap pembangunan.
Dunia masih dihadapkan pada tingkat pertumbuhan penduduk yang cenderung menurun, tapi relatif masih tinggi. Jumlah penduduk dunia pada 2013 diperkirakan mencapai 7,3 miliar, bertambah sekitar lima miliar dibanding 100 tahun lalu. Laju pertumbuhan penduduk dunia pada 2010 secara rata-rata mencapai 1,2 persen. Sedangkan, rata-rata laju pertumbuhan penduduk negara berkembang diperkirakan mencapai 1,4 persen.
Di saat bersamaan, laju pertumbuhan Indonesia justru lebih tinggi (1,49 persen).
Salah satu penyebab pertambahan yang masih besar adalah penduduk dunia yang didominasi oleh kelompok usia muda dan produktif. Terjadi suatu kondisi yang disebut population momentum. Besarnya jumlah penduduk muda di dunia menyebabkan angka kelahiran juga cenderung besar.
Setiap tahun, Badan Kependudukan Dunia UNFPA menetapkan tema yang secara spesifik didasarkan pada isu yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebagai contoh, pada 2011 UNFPA menetapkan tema “7 Billion Actions” karena pada tahun tersebut penduduk dunia diperkirakan tepat berjumlah tujuh miliar. Sedangkan, pada 2010 UNFPA mengambil tema “Be Counted: Say What You Need”, mengingat sebagian besar negara di dunia pada 2010 sedang melaksanakan sensus penduduk.
Khusus 2013, UNFPA memilih tema “Adolescent Pregnancy” (kehamilan remaja). Sebuah tema yang cukup spesifik, mengingat isu kependudukan sering kali lebih banyak membahas jumlah, pertumbuhan, struktur, persebaran, maupun migrasi penduduk. UNFPA menekankan pentingnya komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan di dunia untuk mengatasi masalah perka winan dan kehamilan di bawah usia 20 tahun (perkawinan dini).
Isu perkawinan dan kehamilan dini tidak mendapat banyak perhatian di Indonesia. Undang-Undang No 1/1974 ten- tang Perkawinan masih digunakan hingga saat ini. Padahal, dalam Pasal 7 Ayat 1 dijelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan perempuan sudah mencapai usia 16 tahun. Tentunya, jika ditinjau dalam perspektif demografi dan kesehatan, usia 16 tahun bagi seorang perempuan bukanlah usia yang ideal untuk melangsungkan perkawinan.
Seorang perempuan yang berusia di bawah 20 tahun, organ reproduksinya masih berkembang dan belum sempurna, serta berisiko tinggi saat mengalami kehamilan. Ketika hamil dan organ reproduksinya masih berkembang, maka saat bersamaan di dalam rahimnya juga terjadi pertumbuhan janin. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan perempuan usia di bawah 20 tahun cenderung memiliki berat badan rendah.
Dalam UU No 3/2002 tentang Perlindungan Anak, didefi nisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak-nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Membiarkan perkawinan seorang anak dan hamil tentunya tidak sejalan dengan definisi perlindungan anak itu sendiri. Artinya, kita belum mampu melindungi hak-haknya untuk dapat tumbuh berkembang secara optimal. Apalagi, kenyataan yang ada di Indonesia, berdasarkan data BPS 2010, sekitar 45 persen perempuan justru sudah/pernah kawin saat usia di bawah 19 tahun.
Perkawinan dini bisa juga didefinisikan jika dilakukan oleh anak yang belum baligh (pubertas). Tapi, defi nisi ini tentu perlu kita renungkan bersama untuk menghasilkan kesimpulan yang tepat. Sesungguhnya, banyak faktor yang memengaruhi cepat lambatnya pubertas seorang anak. Misalnya, makanan yang banyak mengandung hormon akan mempercepat pubertas, sehingga tidak mengherankan saat ini banyak anak yang usianya baru 10 tahun, tapi sudah mengalami tanda-tanda pubertas. Pertanyaannya, apakah seorang anak yang sudah pubertas di usia 10 tahun secara fi sik dan mental memang siap untuk menikah?
Dalam perdebatan tentang usia perkawinan, setiap pakar tentu memiliki argumennya sendiri. Tapi, kita harus memperhatikan berbagai argumen ilmiah berdasarkan kajian yang valid dan dapat dipercaya. Sudah saatnya pemerintah merevisi UU No 1/1974 dengan melibatkan para tokoh agama dan akademisi, khususnya terkait batasan usia perkawinan.
Banyak implikasi negatif yang dihasilkan dari perkawinan dini. Membiarkan UU No 1/1974 tidak direvisi sama artinya dengan menganggap bahwa perkawinan dini adalah hal yang wajar. Perlu ada sinkronisasi antara UU Perkawinan dan UU lainnya yang mengatur masalah anak. Tema Hari Kependudukan Sedunia 2013 hendaknya memberikan refleksi bagi kita untuk mereformulasi kebijakan guna mendukung pembangunan kualitas penduduk.