Memburuknya Kesenjangan

Dimuat Dalam Kolom Opini Tempo Edisi 2, 8 September 2013.

Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1434 Hijriah baru saja berlalu. Sebuah momentum yang penuh makna dalam konteks keagamaan dan kehidupan sosial di Indonesia. Meningkatnya zakat, infaq dan shodaqoh selama bulan Ramadhan lalu dapat dimaknai bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia memiliki keinginan untuk berbagi dan memahami bahwa masih ada kesenjangan di dalam masyarakat. Sebuah modal sosial bagi bangsa ini untuk keluar dari masalah kesenjangan. Kita memang memahami bahwa kesenjangan telah ada sejak dulu di muka bumi ini, namun tidaklah bijak jika membiarkan kesenjangan semakin melebar begitu saja. Dibutuhkan strategi kebijakan yang tepat dan sistematis.

Kinerja ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir dapat dikatakan baik jika ditinjau dari beberapa indikator ekononomi makro. Pertumbuhan ekonomi 2010 hingga 2012 di atas 6 persen meskipun dunia sedang mengalami krisis global dan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen. Bahkan International Monetary Fund (IMF) memperkirakan di tahun ini Zona Euro masih mengalami kontraksi ekonomi antara -0,3 hingga -0,6 persen. Pendapatan perkapita penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari USD 3.500. Di tahun 2011 lalu dalam hal ukuran ekonomi, peringkat Indonesia sudah meningkat ke urutan 17 dunia (versi CIA World Factbook). Bahkan menurut IMF di tahun tersebut Indonesia sudah menempati urutan ke 16 negara terbesar di dunia dalam hal ukuran ekonomi. Padahal di tahun 1995, Indonesia masih berada pada peringkat 25 ekonomi terbesar dunia (dalam hal besaran GDP).

Laju inflasi sejak tahun 2010 terkendali di bawah 7 persen per tahun. Tingkat pengangguran terbuka terus turun hingga sekitar 6 persen di tahun 2012. Persentase penduduk miskin (menggunakan ukuran garis kemiskinan) juga terus turun hingga 11,96 persen di tahun lalu. Jumlah kelas menengah (berpendapatan/berpengeluaran antara 2 hingga 20 dolar per hari) terus meningkat dimana saat ini diperkirakan lebih dari 50 persen penduduk Indonesia tergolong sebagai kelas menengah. Meskipun lebih dari 80 persen kelas menengah di Indonesia masih termasuk dalam kategori kelas menengah bawah (berpengeluaran 2 sampai 4 dolar per hari), namun peningkatan jumlah mereka memberi manfaat positif bagi perekonomian Indonesia. Meningkatnya jumlah kelas menengah menciptakan ekspansi konsumsi rumah tangga yang berimplikasi pada menguatnya daya tahan ekonomi domestik terhadap berbagai gejolak eksternal.

Kesenjangan Memburuk
Namun di tengah kinerja ekonomi makro yang demikian baik, Indonesia justru mengalami masalah memburuknya kesenjangan (ketimpangan). Dalam hal kesenjangan pengeluaran, Koefisien Gini di tahun 2012 mencapai 0,41. Bandingkan dengan Koefisien Gini tahun 1964 yang hanya 0,35 dan tahun 2007 yang hanya meningkat sedikit menjadi 0,36 . Dalam periode waktu 1964-2007 (lebih dari 40 tahun), kesenjangan di Indonesia relatif stabil. Namun faktanya saat ini justru meningkat secara cepat hanya dalam beberapa tahun terakhir. Perlu dipahami bahwa Koefisien Gini yang semakin tinggi mencerminkan tingkat kesenjangan yang semakin tinggi pula.

Apakah kinerja ekonomi yang baik justru menghasilkan kesenjangan di dalam masyarakat? Sesungguhnya Koefisien Gini yang dihitung dengan menggunakan data pengeluaran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, BPS) sangat dimungkinkan bias. Pertama, jika kita menggunakan ukuran pendapatan tentu saja kesenjangan akan lebih tinggi, mengingat pengeluaran tidak dapat mencerminkan sepenuhnya besaran pendapatan. Sayangnya memang tidak tersedia data pendapatan mengingat sulit untuk memperoleh informasi pendapatan secara akurat. Kedua, Susenas yang dilakukan oleh BPS sebenarnya cenderung bias ke rumah tangga “miskin”. Artinya, BPS mengalami berbagai hambatan dan kesulitan ketika melakukan survei dengan responden rumah tangga “kaya”. Responden ini cenderung sulit untuk ditemui pada saat survei dan kurang bersedia memberikan informasi dengan lengkap. Oleh karenanya, jika survei yang dilakukan oleh BPS tidak bias ke rumah tangga miskin, bukan tidak mungkin Koefisien Gini yang menjadi salah satu ukuran kesenjangan ekonomi akan lebih besar dari angka yang ada.

Memahami Kesenjangan
Frances Stewart (2010) dari Universitas Oxford mengungkapkan bahwa jika kita berbicara tentang kesenjangan maka mencakup 3 hal, yaitu kesenjangan antar siapa, kesenjangan dalam hal apa, dan kesenjangan selama periode kapan. Ukuran Koefisien Gini dalam tulisan ini menunjukkan kesenjangan antar rumah tangga dan dalam hal pengeluaran. Kenyataannya masih banyak aspek kesenjangan lainnya yang dapat kita analisis seperti kesenjangan antar daerah, kesenjangan desa-kota, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, dan kesenjangan lainnya. Kesenjangan tidak hanya dalam hal pendapatan atau pengeluaran saja, tetapi juga dalam berbagai aspek pembangunan misalnya pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan sebagainya.

Kesenjangan adalah suatu kondisi alamiah yang akan terus ada sepanjang waktu dan antar generasi. Namun yang menjadi masalah jika kesenjangan justru semakin memburuk antar waktu. Padahal, pembangunan tidak hanya bertujuan untuk menghadirkan kesejahteraan saja, namun juga keadilan yang tercermin dari menurunnya kesenjangan antar waktu. Cita-cita nasional Indonesia seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jelas ada prasyarat keadilan untuk mencapai kemakmuran.

Amartya Sen, seorang peraih Nobel Ekonomi, secara implisit mengungkapkan bahwa akar dari kesenjangan ialah kapabilitas dan modal. Ada “jebakan kapabilitas” (capability trap) bagi sebagian orang yang mengalami keterbatasan dalam hal akses terhadap pendidikan, kesehatan, pangan, kesempatan kerja, maupun pasar. Mereka yang “terjebak” cenderung rendah produktivitasnya dan tidak mampu meraih peningkatan pendapatan secara berarti dari waktu ke waktu. Sedangkan “jebakan modal” (capital trap) tidak harus selalu dimaknai sebagai modal uang atau aset (physical capital) saja, melainkan juga modal sosial dan kultural. Bagaimana mungkin seseorang akan meningkat taraf hidupnya jika tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain yang lebih baik kehidupannya. Kesenjangan dapat memicu kefrustasian dan menimbulkan potensi konflik sosial serta komunal. Seperti yang diungkapkan oleh Frances Stewart bahwa “…poverty is bad enough, but when you are being discriminated, you feel useless, it will strip away your dignity…”.

Memperbaiki Kesenjangan
Naiknya Koefisien Gini di Indonesia hendaknya dimaknai sebagai sinyal akan pentingnya pembangunan berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi dan kinerja ekonomi makro lainnya adalah syarat perlu (necessary condition), namun tidak cukup. Untuk memenuhi syarat cukup (sufficient condition) dibutuhkan strategi redistribution with growth (RWG). Sebuah strategi pembangunan yang sebenarnya telah berkembang sejak tahun 1970an melalui kombinasi kebijakan antara mencapai target pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi kemiskinan dan memperbaiki pemerataan distribusi pendapatan.

Salah satu sumber meningkatnya kesenjangan ialah instabilitas harga di dalam perekonomian. UNDP Asia-Pasifik di tahun 2008 mencatat bahwa kenaikan harga pangan dan bahan bakar minyak memberikan kontribusi besar bagi meningkatnya kesenjangan pendapatan masyarakat negara-negara di Asia Pasifik. Ada 2 temuan yang menarik dari pengamatan T Palanivel, seorang penasehat senior dari UNDP Asia-Pasifik. Pertama, adanya kejutan (shock) dari meningkatnya harga komoditas memberikan efek buruk yang lebih lama dalam perekonomian. Kedua, kejutan tersebut menciptakan volatilitas harga yang lebih tinggi dibanding masa lalu.

Dalam konteks Indonesia, meskipun laju inflasi sejak 2010 relatif terkendali di bawah 7 persen, namun kita perlu mewaspadai tingginya angka inflasi di tahun ini sebagai akibat kenaikan harga pangan dan energi. Di Bulan Juli 2013 lalu, BPS mencatat laju inflasi sebesar 3,29 persen (month to month) yang merupakan laju inflasi bulanan tertinggi sejak tahun 1999. Sedangkan Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa laju inflasi Juli 2013 secara year on year sebesar 8,61 persen. Angka ini tertinggi sejak tahun 2009 lalu. Besarnya laju inflasi tersebut turut berkontribusi bagi tekanan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika. Jika Rupiah terus mengalami depresiasi, maka impor pangan dan BBM menjadi mahal. Daya beli kelompok miskin dan kelas menengah terus tergerus, dan kesenjangan akan meningkat.

Kita berharap Pemerintah dapat mengambil langkah strategis dan melibatkan modal sosial untuk mengatasi tren peningkatan kesenjangan di Indonesia. Logika sederhananya, pertumbuhan ekonomi harus memberikan manfaat terbesar justru bagi kelompok miskin dan menengah. Stabilitas harga menjadi prasyarat penting guna mencegah naiknya angka kesenjangan. Kesenjangan mungkin saja tidak nampak secara kasat mata, namun dapat diukur dan dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia.