Revolusi Mental, KB, dan Kesejahteraan

Dimuat Dalam Kolom Opini Republika, 8 November 2014.

Tema utama kampanye Jokowi-JK yang mengusung “Revolusi Mental” dapat diartikan bahwa pemerintahan baru menempatkan penduduk sebagai isu sentral pembangunan 5 tahun ke depan. Karena sesungguhnya, mental penduduk lah yang diharapkan akan mengalami revolusi melalui berbagai intervensi kebijakan yang tepat. Peluncuran Program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dapat berfungsi tidak hanya mengangkat kualitas hidup penduduk miskin dan rentan saja, melainkan juga mampu menjadi instrumen utama dalam revolusi mental.

Namun sesungguhnya kita perlu menyadari bahwa pembentukan mental dan karakter manusia berawal dalam keluarga. Keluarga sendiri didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (mengacu pada UU No 52/2009). Undang-undang tersebut menempatkan keluarga sebagai wahana pertama dan utama dalam membangun kualitas jasmani maupun rohani setiap individu manusia.

Keluarga Berencana
Pembentukan BKKBN melalui Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1970 bermakna bahwa pemerintah sepenuhnya meletakkan program Keluarga Berencana sebagai salah satu program utama pembangunan di Indonesia. Di awal pelaksanaannya KB fokus diarahkan untuk menekan angka kelahiran. Jumlah anak per perempuan (yang diukur dengan total fertility rate) berdasarkan Sensus Penduduk 1971 mencapai 5,6 anak. Maknanya, perempuan di Indonesia hingga selesai masa reproduksinya rata-rata memiliki anak antara 5 hingga 6 orang. Penurunan tingkat kelahiran diharapkan memberi manfaat positif terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Dalam implementasi gerakan KB nasional, BKKBN menggunakan konsep norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera (NKKBS) sebagai dasar filosofi. Tema sentralnya ialah keluarga kecil menjadi kunci membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera.

Keluarga kecil telah berhasil menjadi nilai yang dianut sebagian besar keluarga Indonesia. Tetapi meskipun ukuran keluarga sudah mengecil, kondisi bahagia dan sejahtera belum sepenuhnya dapat tercapai. Peran KB telah ditingkatkan, bukan sekedar pengendalian kelahiran saja, melainkan juga untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Terbitnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Keluarga dimaksudkan untuk memperkuat program KB. Program KB berdimensi lebih luas, melibatkan intervensi kebijakan yang terkait upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Selanjutnya UU tersebut disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. UU tersebut jelas menjadi pijakan pemerintah menjalankan program KB nasional dan upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat.

KB dan Revolusi Mental
Mungkin kita akan bertanya, apa hubungannya KB dengan mental seseorang? Ada banyak definisi mental yang berkembang. Mental dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk merespons setiap kondisi yang dihadapinya, tercermin dalam emosi, pikiran, sikap dan tindakannya. Bagaimanapun juga, mental seseorang dapat dipengaruhi oleh kehidupannya dalam keluarga. Setiap orang tua tidak hanya berupaya agar anak mereka dapat tumbuh sehat dan cerdas secara fisik saja, tetapi juga memiliki kecerdasan mental yang baik. Untuk membangun kecerdasan mental dibutuhkan kasih sayang dan ikatan bathin yang kuat antara anak dan orang tuanya dalam keluarga. Dalam keluarga dengan banyak anak, ketersediaan waktu untuk mencurahkan perhatian dan kasih sayang terhadap anak menjadi lebih sedikit. Sekalipun orang tua memiliki kemampuan ekonomi yang baik untuk membiayai anak dalam jumlah banyak, namun tidak banyak waktu luang bagi mereka.

Badan Pusat Statistik beberapa bulan lalu baru merilis indeks kebahagiaan. Diungkapkan bahwa rumah tangga akan cenderung rendah indeks kebahagiaannya saat jumlah anggota rumah tangganya sebanyak 5 orang atau lebih. Maknanya, semakin banyak anak, cenderung semakin tidak bahagia. Kemampuan pembiayaan pendidikan dan kesehatan bagi anak juga sangat ditentukan oleh jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga.

KB tidak bisa hanya dimaknai sebagai upaya pengendalian kelahiran saja. KB harus dimaknai sebagai upaya untuk membangun nilai perencanaan dalam keluarga. Masalahnya, keluarga miskin cenderung tidak memiliki perencanaan yang baik dan terstruktur dalam kehidupannya. Perencanaan yang baik dalam keluarga akan menghindarkan keluarga tersebut dari masalah dan tekanan psikologis yang tidak diinginkan. Mental anggota keluarga menjadi lebih tangguh jika ada perencanaan yang jelas. Dimulai dari perencanaan menentukan saat yang tepat untuk menikah, hamil, mengatur jarak antar kehamilan, gizi anak, imunisasi, pendidikan, dan sebagainya.

Tanpa Keluarga
Namun kita juga tidak bisa menutup atas realitas sosial yang ada di masyarakat. Tidak semua individu hidup dalam keluarga. Di antara berbagai kemungkinan yang ada, anak yatim piatu dan terlantar menjadi salah satu contoh realitas tersebut. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator tentu harus memikirkan langkah yang tepat untuk membangun mental penduduk yang tidak hidup dalam keluarga. Intervensi pemerintah dalam bentuk KIP, KIS, dan KKS sesungguhnya juga harus mampu menjangkau kelompok penduduk yang tidak hidup dalam keluarga. Membantu individu yang tidak merasakan kehadiran keluarga. Kita harus mampu mengidentifikasikan dengan baik pelayanan sosial menurut setiap kelompok umur, sesuai tahapan siklus hidup yang mendukung pembentukan kualitas mental individu tanpa keluarga.

Kita berharap, pemerintah dapat menerjemahkan kebutuhan pembangunan mental penduduk dengan baik, melalui intervensi yang tepat. KB mungkin dapat menjadi salah satu instrumen yang tepat untuk membangun mental penduduk dalam konteks keluarga. Tetapi pelayanan sosial terpadu menjadi media yang tidak kalah pentingnya dalam membangun mental penduduk yang tidak hidup dalam keluarga. Setidaknya bagi mereka yang hidup dalam kondisi di luar definisi keluarga di atas. Kebijakan bukan dibuat hanya untuk sebagian orang saja, melainkan harus mampu memayungi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali.