Nelayan Kita
PEMERINTAHAN Joko Widodo-Jusuf Kalla menekankan pembangunan sektor kemaritiman sebagai salah satu fokus Kabinet Kerja.
Tampaknya blusukan menjadi ciri para anggota Kabinet Kerja, termasuk menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Kemaritiman. Namun, sesungguhnya blusukan akan lebih efektif jika dibarengi dengan pemahaman komprehensif tentang peta kependudukan Indonesia.
Tujuannya tentu saja untuk memperoleh gambaran secara jelas kondisi dan karakteristik penduduk yang menjadi subyek dan obyek kebijakan. Tanpa memahami situasi makro kependudukan, pemahaman masalah menjadi parsial dan efektivitas kebijakan kurang optimal.
Nelayan dalam angka
Meskipun sektor kemaritiman berdimensi luas, mencakup perikanan, energi, pertambangan, pariwisata, transportasi, dan sebagainya, subsektor perikanan tampaknya perlu menjadi salah satu fokus kebijakan kemaritiman pemerintah. Gambaran umum mengenai kehidupan nelayan yang notabene tinggal di kawasan pesisir menjadi informasi dasar dalam menyusun perencanaan sektor kemaritiman ke depan.
Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik) yang diolah, diketahui bahwa hanya 2,2 persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga nelayan.
Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan.
Sementara secara keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,17 juta (hanya 0,87 persen tenaga kerja). Ada sekitar 700.000 lebih nelayan yang berstatus bukan sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar nelayan tinggal tersebar di 3.216 desa yang terkategori sebagai desa nelayan (mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan).
Secara geografis, nelayan ada di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan serta memiliki potensi perikanan sangat besar.
Provinsi dengan jumlah nelayan paling banyak di Indonesia ialah Provinsi Jawa Timur (mencapai lebih dari 334.000 nelayan), diikuti Jawa Tengah (lebih dari 203.000 nelayan) dan Jawa Barat (sekitar 183.000 nelayan). Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Aceh berturut-turut menjadi provinsi dengan jumlah nelayan terbanyak ke-4, ke-5, dan ke-6 di Indonesia. Jumlah nelayan paling sedikit ditemui di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Maluku Utara.
Ironisnya, walaupun seafood menjadi salah satu makanan favorit yang mahal, tingkat kesejahteraan nelayan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang berprofesi bukan sebagai nelayan. Rata-rata pengeluaran nelayan hanya sekitar Rp 561.000 per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bukan nelayan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 744.000 per bulan.
Tingkat upah nelayan juga hanya sekitar Rp 1,1 juta per bulan, sedikit di bawah pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan. Namun, ada sedikit kabar menggembirakan, yaitu lebih dari 84 persen rumah tangga nelayan memiliki rumah sendiri. Bandingkan dengan kenyataan bahwa hanya 79 persen rumah tangga bukan nelayan yang memiliki rumah sendiri. Meskipun demikian, data ini sesungguhnya tidak menunjukkan bagaimana kualitas rumah yang dimiliki nelayan. Kenyataan lain, komunikasi bukan menjadi hambatan bagi para nelayan karena sekitar 83 persen nelayan memiliki telepon seluler.
Para nelayan kurang beruntung ditinjau dari aspek pendidikan, dengan hampir 70 persen nelayan berpendidikan sekolah dasar ke bawah dan hanya sekitar 1,3 persen yang berpendidikan tinggi. Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek kesehatan para nelayan.
Makna jumlah nelayan
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 menunjukkan bahwa sekitar 25 persen nelayan mengalami gangguan kesehatan dalam satu bulan terakhir saat disurvei. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa gangguan kesehatan tersebut mengganggu aktivitas mereka mencari nafkah sehingga berdampak pada ekonomi rumah tangganya. Hanya 54 persen nelayan yang memiliki jaminan kesehatan sehingga istilah ”sadikin” (sakit sedikit miskin) menjadi problem para nelayan.
Rumah tangga nelayan juga cenderung memiliki anak lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga bukan nelayan. Program Keluarga Berencana (KB) jelas penting bagi kehidupan para nelayan guna meningkatkan kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.
Secara umum, jumlah tenaga kerja yang memilih pekerjaan sebagai nelayan kurang dari 1 persen dan mereka memiliki kehidupan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan para pekerja lainnya secara rata-rata. Sementara data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006 menyebutkan, ada sekitar 6,2 juta penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan perikanan.
Bagaimanapun, jumlah nelayan yang sedikit menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia tidak berorientasi pada laut sebagai sumber penghidupan. Menjadi nelayan bukanlah pilihan pekerjaan yang menarik karena mungkin nelayan identik dengan kemiskinan.
Tidak mengherankan apabila jarang sekali kita mendengar seorang anak bercita-cita menjadi nelayan. Padahal, kita meyakini bahwa dari laut kita bisa membangun kesejahteraan. Membangun negara maritim yang tangguh tentunya diawali dengan membangun nelayan yang sejahtera. Jika menjadi nelayan memberikan jaminan kesejahteraan, profesi ini dapat menjadi pilihan menarik bagi angkatan kerja di Indonesia yang berlimpah.
Nelayan kita terjebak dalam perangkap kemiskinan yang pelik. Mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan. Mereka juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi (survei Lembaga Demografi di Sulawesi Utara, 2014).
Hanya 2,34 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang berasal dari perikanan laut (BPS, 2013). Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB selama periode 2010-2012 bahkan stagnan di angka 2,33 persen.
Kondisi ini jelas jauh dari memadai mengingat luas laut Indonesia mencapai 3.257.483 kilometer persegi (belum termasuk perairan zona ekonomi eksklusif/ZEE) dengan panjang garis pantai 81.497 kilometer. Bagaimanapun, peningkatan kesejahteraan nelayan dan kontribusi sektor maritim terhadap perekonomian menjadi salah satu barometer penting keberhasilan pemerintahan JKW-JK dalam membangun Indonesia yang lebih hebat.