Demografi dan Korupsi
Beberapa tahun terakhir, isu korupsi tak henti menjadi pemberitaan media. Namun, belum ada analisis yang menghubungkan korupsi dengan kondisi demografi di Indonesia. Padahal, banyak penelitian di negara lain yang menelaah kaitan korupsi dan demografi.
Di tengah maraknya korupsi, Indonesia sebenarnya sedang berada dalam periode bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai lebih dari 67 persen penduduk Indonesia. Namun, potensi bonus demografi bisa gagal kita manfaatkan jika korupsi berlangsung masif.
Memahami demografi sangat penting bagi penyusunan strategi pembangunan, termasuk upaya pencegahan korupsi. International Union for the Scientific Study of Population mendefinisikan demografi sebagai studi ilmiah masalah penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur, dan pertumbuhannya. Adapun korupsi didefinisikan sebagai setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No 31/1999 juncto UU No 20/ 2001).
Namun, sebelum lebih jauh memahami hubungan korupsi dengan demografi, kita perlu menyadari keterkaitan korupsi dengan data kependudukan. Data penduduk yang valid dan reliable adalah prasyarat utama pembangunan yang efektif dan berkeadilan. Karena itu, manipulasi dan korupsi berawal dari data kependudukan yang tak akurat.
Struktur penduduk
Penelitian Farzanegan dan Witthuhn (2014) menunjukkan bahwa dinamika demografi dan instabilitas politik suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat korupsinya. Artinya, Indonesia dengan jumlah penduduk usia produktif besar (sejak 2012 masuk periode bonus demografi) akan menghadapi instabilitas politik jika tingkat korupsi tinggi.
Korupsi akan mengurangi kesempatan kerja, mendorong terjadinya kesenjangan akibat manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati kelompok menengah ke atas yang dekat dengan kekuasaan maupun yang berkuasa. Korupsi menyebabkan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan investasi publik berkurang. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rendah sehingga angka pengangguran tinggi dan menjadi sumber instabilitas politik.
Jumlah penduduk usia produktif yang besar menciptakan tekanan di pasar kerja. Persaingan untuk memperoleh pekerjaan semakin ketat. Dampaknya adalah tingginya pengangguran usia muda. Kelompok muda akan menyuarakan protes terhadap korupsi, karena mereka terkena dampak langsung korupsi.
Situasi politik yang tidak stabil akan menurunkan minat investor berinvestasi, ujungnya berdampak pada rendahnya penciptaan lapangan kerja baru. Belajar dari fenomena “Arab Spring” di Timur Tengah dan Afrika Utara, instabilitas politik itu dipicu oleh melimpahnya jumlah penduduk usia produktif, mahalnya harga pangan, dan tingginya tingkat pengangguran.
Kita juga harus menyadari bahwa struktur penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh mereka yang lahir setelah kemerdekaan. Tentu ada perbedaan values antara generasi yang lahir sebelum dan setelah kemerdekaan. Sebagian generasi saat ini mengutamakan materi sehingga berpotensi melakukan korupsi.
Pertumbuhan penduduk
Korupsi jelas berdampak langsung terhadap efektivitas kebijakan publik. Berkurangnya kemampuan pengeluaran pemerintah akibat korupsi memengaruhi kualitas maupun kuantitas pelayanan dan barang publik yang disediakan pemerintah.
Buruknya pelayanan kesehatan, misalnya, bisa berdampak pada tingginya angka kematian balita dan rendahnya tingkat keberlangsungan hidup anak. Padahal, setiap keluarga dihadapkan pada memilih keputusan antara kuantitas atau kualitas anak. Jika kualitas pelayanan kesehatan anak buruk, maka keluarga cenderung mengambil keputusan untuk memiliki anak dalam jumlah yang lebih banyak.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa orangtua memiliki jumlah anak banyak. Pertama, buruknya akses pelayanan kesehatan menyebabkan tingkat keberlangsungan hidup anak menjadi rendah. Akibat risiko kematian anak yang tinggi, keluarga memilih untuk mengurangi risiko tersebut dengan memiliki banyak anak.
Kedua, anak merupakan faktor produksi yang dapat membantu orangtuanya untuk bekerja dan memperoleh pendapatan.
Ketiga, dalam kondisi ketiadaan jaminan hari tua, orangtua hanya mengandalkan jaminan hari tua dari anak-anaknya sehingga semakin besar jumlah anak, semakin besar pula jaminan hari tuanya.
Korupsi secara tidak langsung dapat berdampak pada naiknya angka kelahiran sehingga laju pertumbuhan penduduk akan naik pula. Akan terjadishifting dari paradigma yang mengedepankan kualitas anak menjadi orientasi pada kuantitas anak. Pembentukan modal manusia bisa terhambat pemerintahan yang korup. Keberhasilan program keluarga berencana dapat hilang akibat korupsi.
Migrasi
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korupsi yang masif di suatu wilayah dapat menjadi faktor pendorong migrasi ke luar. Penduduk yang memiliki keterampilan serta pendidikan tinggi cenderung pergi ke wilayah lain untuk bekerja.
Jika para pekerja terampil melakukan mobilitas ke daerah lain, tentunya berdampak buruk bagi pembangunan daerah asalnya. Untuk kasus Indonesia, daerah-daerah dengan tingkat korupsi tinggi berpotensi ditinggalkan oleh penduduknya yang memiliki keterampilan serta pendidikan yang baik. Hal ini akan memperburuk kesenjangan pembangunan antardaerah dalam jangka panjang.
Sudah jelas bahwa korupsi menjadi “musuh” kita bersama dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Korupsi berimplikasi buruk terhadap dinamika penduduk suatu negara maupun daerah. Tentu masih banyak analisis dari sudut pandang selain demografi untuk menunjukkan betapa buruknya korupsi bagi kehidupan kita semua.
Semoga momentum bonus demografi saat ini dapat kita optimalkan dengan terus memerangi korupsi.