Fenomena Serba Palsu

Dimuat Dalam Kolom Opini Gatra No. 39 tahun XXI, 30 Juli-5 Agustus 2015.

Akhir-akhir ini semakin banyak bermuncul pemberitaan yang mengungkap kasus-kasus palsu. Dari mulai ijazah palsu, surat nikah palsu, beras organik palsu, kosmetik palsu, dokter kecantikan palsu, daging palsu, uang palsu, obat palsu, hingga suami palsu. Fenomena pemalsuan tentu bukan hal baru di Indonesia. Apapun jenisnya, pemalsuan merupakan bentuk kecurangan yang bersifat menipu dan merugikan pihak lain.

Kasus pemalsuan banyak terjadi di negara dengan market size yang besar (jumlah penduduk besar). Alasannya, produsen barang palsu membidik “ceruk” pasar yang tak selalu bisa dipenuhi oleh produsen legal. Indonesia telah menjadi pasar potensial bagi berbagai produk palsu sejak lama. Dengan jumlah penduduk yang besar, semakin besar pula potensi kerugian yang bisa ditimbulkannya.

Gary S Becker, peraih Nobel Ekonomi, melalui karyanya Crime and Punishment (1968) berargumen bahwa tindakan ilegal yang dilakukan seseorang, didasarkan pada rasionalitas biaya-manfaat. Dengan menggunakan crime economic model, Becker membuktikan adanya motif ekonomi dibalik setiap kejahatan harta benda (property crime). Fenomena serba palsu yang sering kita dengar di Indonesia sebagian besar tentu bermotif ekonomi.

Jenis Barang Palsu
Dengan menggunakan analisis pasar, OECD (2008) membedakan pasar barang palsu dan bajakan (counterfeit and pirated products) menjadi 2 jenis. Pertama, primary market. Konsumen membeli barang palsu namun tak mengetahui bahwa barang tersebut palsu. Contohnya seperti obat palsu, beras organik palsu, dokter palsu, dan sebagainya. Konsumen menanggung risiko atas kerugian yang tak disadarinya. Penyebabnya ialah asymmetric information (informasi yang tidak simetris antara penjual dan pembeli). Pembeli tak memiliki informasi yang lengkap, sebaliknya penjual sangat tahu produk atau jasa yang dijualnya.

Jenis kedua disebut secondary market. Konsumen membeli barang palsu atau bajakan dan sadar (mengetahui) bahwa barang tersebut palsu. Motifnya beragam, mulai dari ingin mengonsumsi produk dengan harga yang jauh lebih murah hingga memperoleh status sosial di dalam masyarakat. Transaksi bersifat sukarela dan saling menguntungkan (penjual dan pembeli). Barang palsu menjadi substitusi barang asli. Contoh praktek ini diantaranya ijazah palsu, DVD bajakan, barang bermerek palsu, dan sebagainya. Dalam kasus DVD dan barang bermerek bajakan, yang dirugikan tentu produsen barang asli. Namun untuk kasus ijazah palsu, “pihak ketiga” (masyarakat) yang jelas dirugikan.

Ada kebanggaan bagi sebagian orang untuk mengonsumsi barang mewah yang dapat meningkatkan status sosialnya, namun dengan harga lebih murah. Umumnya selisih harga yang ditawarkan untuk barang asli dan palsu relatif besar. Pada kasus ijazah palsu misalnya, selain status sosial yang dicari, pembeli juga membayar dengan harga relatif murah. Jika menempuh pendidikan sesuai aturan, dia akan menghadapi opportunity cost yang tak sedikit, seperti waktu yang dikorbankan untuk kuliah, belajar, ujian, dan sebagainya. Hal ini menjelaskan mengapa permintaan ijazah palsu selalu ada.

Mengapa muncul barang palsu?
Pada dasarnya pelaku pemalsuan mengeksploitasi informasi yang tak dimiliki pihak lain dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pemalsuan merupakan tindak kecurangan. Pertanyaannya, mengapa orang melakukan kecurangan? Dalam setiap transaksi ekonomi para pihak yang terlibat tentu berharap akan menerima imbalan atau manfaat. Besar kecilnya imbalan ini dipengaruhi pula oleh besar kecilnya biaya transaksi. Dengan mengeksploitasi ketidaksempurnaan informasi yang dimiliki oleh mitra transaksi, penjual dapat bertindak bahwa seolah-seolah komoditas yang ditransaksikan sudah sesuai dengan harapan pihak lain. Penipuan atau pemalsuan berimplikasi pada biaya yang harus ditanggung oleh pembeli. Adanya potensi pendapatan besar dengan biaya produksi yang murah memberikan keuntungan besar bagi produsen barang palsu. Selalu ada insentif untuk melakukan tindakan pemalsuan atau kecurangan.

Adanya berbagai praktek kecurangan mendorong munculnya pembahasan tentang ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics) atau EBT yang dipelopori Oliver Williamson pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Setiap transaksi selalu ada risikonya. Untuk menghilangkan risiko tersebut, ada biayanya. Biaya ini yang disebut sebagai biaya transaksi. Risiko selalu muncul karena adanya self-interest dan oportunisme (perilaku mengakali) dari salah satu pihak. Oportunisme berarti orang perorang dan perusahaan bisa berbohong untuk menguntungkan mereka sendiri. Perilaku ini diberi istilah “memenuhi kepentingan diri sendiri dengan keculasan” oleh Williamson (Bromiley dan Harris, 2006). Williamson meyakini bahwa perilaku oportunistik mudah dijumpai dalam berbagai kegiatan bisnis dan terjadi di mana saja. Terkadang kita sulit untuk membedakan orang yang dapat dipercaya atau tidak. Williamson berpendapat bahwa memberantas perilaku curang butuh biaya yang besar seperti biaya monitoring dan penegakan hukum. Menekan kasus pemalsuan membutuhkan pembiayaan pemerintah yang tidak sedikit. Oleh karenanya, perlu peran serta pihak swasta dan masyarakat untuk membantu pemerintah mengatasi fenomena serba palsu.

Sesungguhnya fenomena serba palsu bisa dicegah pada masyarakat dengan tingkat trust tinggi. Kenneth J Arrow (peraih Nobel Ekonomi) mengatakan bahwa keberhasilan sistem ekonomi suatu negara tercermin oleh adanya trust antar pihak yang bertransaksi. Masing-masing pihak tidak akan bertindak curang, meskipun mungkin tindakan curang dapat dipandang sebagai ‘perilaku ekonomi yang rasional’. Perekonomian yang mengalami banyak fenomena kepalsuan, menunjukkan gejala bahwa sistem ekonomi yang berjalan belum berhasil dan tingkat trust dalam masyarakat cukup rendah.

Mengatasi Fenomena Palsu
Ada kecenderungan bahwa fenomena barang palsu akan semakin banyak dan perlu penanganan serius. Sedikitnya terdapat 2 argumen yang mendukung kemungkinan meningkatnya transaksi barang palsu untuk secondary market. Pertama, dengan harga yang relatif murah dan pendapatan masyarakat meningkat namun belum tinggi, permintaan barang palsu di Indonesia akan cenderung naik. Keinginan konsumen membeli barang asli baru muncul pada tingkat pendapatan yang sudah tinggi disertai penegakan hukum dan moralitas yang lebih baik.

Kedua, kualitas barang palsu semakin baik akibat perkembangan teknologi. Tehnik produksi yang lebih baik memudahkan produsen barang palsu untuk menghasilkan produknya dalam kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Majunya teknologi juga memungkinkan semakin beragamnya barang yang dipalsukan.

Sedangkan meningkatnya fenomena barang palsu di primary market didukung oleh 3 hal. Pertama, dengan pendapatan yang meningkat, kebutuhan masyarakat semakin banyak dan beragam, namun tak diikuti pengetahuan yang memadai tentang produk yang aman dikonsumsi. Konsumen yang pada akhirnya dirugikan.

Kedua, penjualan online akan terus meningkat. Meskipun relatif aman dan efisien, jika tak ada sertifikasi, pengawasan, serta aturan main yang jelas, dimungkinkan transaksi barang palsu semakin besar. Alasan ketiga, semakin tingginya kompetisi dalam perekonomian, diikuti moral hazard penjual untuk memperoleh keuntungan besar akibat lemahnya tindakan hukum atas perbuatan mereka.

Kita perlu menaruh perhatian serius terhadap fenomena serba palsu. Perlindungan terhadap konsumen sangat penting, khususnya untuk kasus primary market. Banyak kerugian dari barang palsu, misalnya mendisinsentif inovasi dan investasi, merugikan penerimaan negara, menciptakan distrust dalam masyarakat, hingga membahayakan nyawa konsumen pada produk atau jasa palsu yang berbahaya.

Menyelesaikan masalah palsu lebih baik dari sumbernya (produsen), bukan penggunanya. Bagaimanapun juga, meskipun permintaannya ada, namun tanpa disertai penawaran, transaksi tak akan terjadi. Keuntungan besar yang diraih produsen barang palsu tak menutup kemungkinan mereka melakukan tindakan penyuapan dalam upaya pemberantasannya.

Penegakan hukum sangat penting. Pada secondary market, pembeli dan penjual harus tahu bahwa transaksi mereka untuk barang palsu berpotensi melanggar hukum. Namun pemerintah juga perlu mendorong pasar untuk menyediakan barang asli yang harganya terjangkau masyarakat. Kecilnya gap harga barang asli dan palsu (bajakan) menciptakan disinsentif bagi produsen barang palsu. Khususnya untuk beberapa produk yang kerap dipalsukan/dibajak namun sangat dibutuhkan masyarakat seperti obat, buku, software, dan sebagainya.

Pada kasus primary market, pengungkapan kasus dan kepastian hukum dapat meredam peredaran barang palsu. Penyebarluasan informasi dan pengetahuan tentang produk yang aman dikonsumsi juga mengurangi munculnya masalah asymmetric information. Meskipun penegakan hukum penting, namun harus melibatkan peran serta masyarakat dalam memberantas barang palsu.

Tentu analisis hukum bisa menjelaskan fenomena serba palsu dengan lebih baik. Namun perspektif ekonomi setidaknya dapat mendeskripsikan adanya insentif bagi produsen dan konsumen untuk bertransaksi barang palsu dengan berbagai konsekuensi buruknya.