Membangun Perbatasan Negara Kita

Dimuat Dalam Kolom opini Koran Sindo, 21 September 2015.

”Dari Sabang sampai Merauke…berjajar pulau – pulau . . . sambung menyambung menjadi satu…itulah Indonesia…”

Lagu karangan R Suharjo yang berjudul Dari Sabang Sampai Merauke tersebut mengingatkan kita akan besarnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah yang luas bukan menjadi alasan untuk menghasilkan pembangunan yang tak berkeadilan.

Namun, kenyataannya, ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia masih sedemikian besarnya dan wilayah perbatasan cenderung menjadi kawasan tertinggal. Padahal, perbatasan menjadi beranda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI. Ancaman kedaulatan negara justru ada di beranda terdepan. Pembangunan Indonesia jelas membutuhkan kebersamaan dari seluruh komponen bangsa. Namun, kebersamaan hanya dapat diwujudkan jika ada keadilan.

Dengan keadilan, kita yakin dapat bersatu menjaga kedaulatan negara ini. Presiden Jokowi menekankan perhatiannya pada upaya membangun daerah perbatasan Indonesia. Bulan lalu Jokowi bahkan menyatakan bahwa pembangunan jalan di perbatasan Kalimantan Barat ditargetkan dapat selesai dalam dua tahun ke depan.

Mengatasi ketimpangan antara daerah perbatasan dan nonperbatasan menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan nasional Pemerintahan Jokowi-JK seperti yang tercantum dalam Nawacita ketiga yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Membangun dari pinggiran merupakan afirmasi (keberpihakan) pemerintah dalam menciptakan keadilan. Perbatasan diarahkan menjadi halaman terdepan negara yang berdaulat, berdaya saing, dan aman seperti tercantum dalam RPJMN 2015-2019. Berdaulat bahwa tidak sejengkal pun wilayah Indonesia yang diambil alih negara lain.

Sedangkan berdaya saing memiliki arti kemampuan dalam menghasilkan barang dan jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan serta standar hidup penduduk perbatasan. Aman berarti bebas dari gangguan, konflik, dan aktivitas ilegal.

Fakta Perbatasan
Indonesia berbatasan darat dengan tiga negara (Malaysia, Papua Nugini, dan Timor-Leste), serta laut dengan 10 negara (India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Australia). Terdapat 16 kabupaten/ kota di Indonesia yang berbatasan darat dengan negara lain.

Sedangkan jumlah kabupaten/kota yang memiliki perbatasan laut sebanyak 22. Secara rata-rata, kondisi kabupaten/ kota yang memiliki perbatasan darat dengan negara lain lebih buruk. Data Bappenas (2012) menunjukkan indeks pembangunan manusia (IPM) di 16 kabupaten/kota perbatasan darat umumnya lebih rendah dibanding angka nasional. Rendahnya kualitas sumber daya manusia penduduk perbatasan salah satunya tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan.

Salah satu kondisi terburuk dialami penduduk perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun di kabupaten- kabupaten perbatasannya hanya sekitar 6,93 tahun (Susenas, BPS 2014). Sebagai perbandingan, di kabupatenkabupaten nonperbatasan Kalbar, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun sekitar delapan tahun.

Kecuali di perbatasan Sumatera yang relatif paling baik kondisinya, aksesibilitas masyarakat di perbatasan Papua, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi Utara jauh tertinggal dibanding kawasan nonperbatasan. Sebagai contoh, pengolahan data Podes BPS menunjukkan lebih dari 80% rumah tangga di kecamatan perbatasan belum memiliki akses layanan listrik dan lebih dari 70% tidak dilayani PAM.

Layanan kesehatan juga minim, lebih dari 80% desa di kecamatan perbatasan tanpa praktik dokter. Kurang dari 20% desa di kecamatan perbatasan NTT yang dapat menerima siaran TV nasional tanpa parabola/TV kabel. Khusus di perbatasan Kalimantan, Papua, dan Maluku, akses jalan/darat juga masih memprihatinkan.

Efek Perbatasan dan Alternatif Strategi
Perbatasan antarnegara menciptakan suatu efek yang disebut efek perbatasan. Batas administratif yang memisahkan dua wilayah karena berbeda negara menimbulkan hambatan interaksi. Padahal, secara geografis, sosial, ekonomi, maupun kultural, sangat dimungkinkan dua wilayah yang berbeda tersebut memiliki banyak kesamaan. Namun, hubungan fungsional di antara keduanya terhambat.

Tentu kita perlu memikirkan lebih lanjut mengenai bentuk pengembangan wilayah perbatasan jika sebenarnya ada potensi besar dari interaksi ekonomi dan sosial antardaerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga. Ada saling ketergantungan antarwilayah perbatasan yang berbeda negara tersebut juga akibat jarak yang jauh dari masing-masing wilayah dengan pusat aktivitas yang ada di negaranya.

Bukan hanya Kabupaten Sanggau (Kalbar) yang jauh dengan Jakarta, melainkan Tebedu (Sarawak) juga jauh dari Kuala Lumpur. Namun pertanyaannya, mengapa wilayah perbatasan dua negara tersebut berbeda kondisinya? Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun kebijakan perbatasan yaitu (1) kondisi pembangunan masingmasing di wilayah perbatasan secara terpisah, (2) interaksi sumber daya lintas/antardaerah perbatasan, (3) ekonomi lintas daerah perbatasan secara keseluruhan (Harmadi, 2007).

Jika daerah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga memiliki potensi hubungan fungsional yang besar, pendekatan yang bisa kita gunakan dalam pembangunan perbatasan adalah cross-border approach. Maknanya, interaksi antardaerah yang berbatasan dipermudah, untuk kepentingan aktivitas ekonomi dan sosial, sepanjang tidak membahayakan ideologi dan kedaulatan.

Pendekatan lainnya yang bisa diambil ialah core-periphery approach. Kita bangun wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan menarik orang untuk datang. Bagaimana caranya? Berbagai penelitian migrasi menunjukkan bahwa sebagian besar motif penduduk bermigrasi ialah mencari pekerjaan atau memperoleh pendidikan yang lebih tinggi/ lebih baik. Pada tahap awal, pemerintah dapat membangun perguruan tinggi negeri (PTN) perbatasan yang berkualitas.

Dengan ada PTN berkualitas di perbatasan, akan lebih mudah menarik migrasi masuk dan mendorong berkembangnya aktivitas penunjang lainnya. Dalam jangka panjang, wilayah perbatasan akan berkembang. Pilihan lainnya dengan membangun jalan di sepanjang garis perbatasan darat sebagai natural border. Dua keuntungan yang bisa diraih yaitu jalan menjadi prasyarat pertama dan utama berkembangnya infrastruktur lain; dan jalan mencegah munculnya aneksasi wilayah milik Indonesia oleh negara lain.

Apa pun strategi yang ditempuh, majunya perbatasan negara Indonesia tentu menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun dari pinggiran dan menjaga kedaulatan NKRI.

Sonny Harry B Harmadi
Staf Khusus Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional