Antisipasi ”Ledakan” Generasi ”Sandwich” Pascabonus Demografi

Sonny Harry B. Harmadi
Ketua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia; Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS
Dipublikasikan pada Kolom Opini Kompas 14 Oktober 2022

Jika Indonesia mampu mengonversi bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan, maka akhir periode bonus demografi akan ditandai dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Jumlah generasi ”sandwich” dapat ditekan.

Keberhasilan pembangunan kependudukan berimplikasi positif bagi capaian pembangunan manusia Indonesia.

Pendewasaan usia kawin pertama memperbaiki tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk. Usia harapan hidup penduduk meningkat. Program Keluarga Berencana berhasil menekan angka kelahiran dan menurunkan rasio ketergantungan. Implikasinya, sejak 2012 hingga 2040, Indonesia akan berada dalam periode bonus demografi.

Namun, periode bonus demografi di Indonesia diikuti fenomena besarnya generasi sandwich. Konsep generasi sandwich diperkenalkan oleh pekerja sosial dan ahli lansia Dorothy Miller dan Elaine Brody pada 1981. Istilah ini mengacu pada generasi penduduk yang menanggung beban ganda.

Seperti halnya sandwich, generasi sandwich terimpit atas (generasi lebih tua) dan bawah (generasi muda), menanggung beban besar. Berpotensi menurunkan kemampuan investasi manusia di tingkat rumah tangga, termasuk pemenuhan pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan gizi. Berdampak jangka panjang pada pembangunan manusia dan ekonomi Indonesia.

Survei Litbang Kompas, Agustus 2022, di 34 provinsi, memberikan gambaran betapa besar jumlah generasi sandwich di Indonesia mencapai 67 persen responden. Jika diproporsikan terhadap penduduk produktif Indonesia, jumlahnya sekitar 56 juta orang. Survei ini dapat menjadi referensi penting mengingat belum ada data lengkap tentang generasi sandwich di Indonesia.

Dua kategori

Generasi sandwich dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, generasi sandwich yang tinggal atau berada dalam satu rumah tangga (RT) dengan mereka yang ditanggung. Kedua, generasi sandwich yang tak berada dalam satu RT dengan mereka yang jadi tanggungan. Sesuai ketersediaan data BPS, uraian profil di sini lebih banyak pada generasi sandwich dalam extended family (keluarga besar yang tinggal dalam satu RT). Maknanya, dalam satu RT terdapat keluarga inti dan saudara lainnya, bisa orangtua, menantu, cucu, saudara kandung, ipar, dan sebagainya.

Berdasarkan pengolahan data Susenas Maret 2022, diperkirakan terdapat 8,4 juta penduduk Indonesia yang tergolong generasi sandwich dalam extended family, selanjutnya disingkat generasi sandwich EF. Terbanyak berada di Jawa Timur (23,71 persen), disusul Jawa Tengah (19,14 persen), Jawa Barat (12,10 persen), Bali (3,99 persen), dan Sumut (3,77 persen). Lebih dari 61 persen generasi sandwich EF berada di Jawa.

Menurut tempat tinggal, 51 persen di wilayah perkotaan dan sisanya di perdesaan. Hampir 17 persen mereka berstatus miskin sehingga beban ganda yang mereka tanggung sangat berat. Faktanya, 58 persen generasi sandwich EF berpendidikan SMP ke bawah.

Lalu kelompok umur mana yang mendominasi generasi sandwich? Hampir 92 persen generasi sandwich EF adalah mereka yang lahir antara 1964 dan 1998 (berumur 24-58 tahun). Rentang usia ini terbilang lebar dibandingkan negara-negara maju (umumnya usia 30-an hingga 40-an). Jumlah perempuan generasi sandwich EF lebih banyak dibandingkan laki-laki, dengan 51,25 persen berbanding 48,75 persen. Hampir 30 persen generasi sandwich berstatus mengurus RT.

Meskipun 70 persen generasi sandwich EF berstatus bekerja, fakta 30 persen mengurus RT perlu menjadi perhatian pemerintah. Beban ganda tak dibarengi penghasilan yang memadai.

Kelompok penduduk bukan generasi sandwich rata-rata menanggung 3-4 anggota RT, tetapi pada generasi sandwich EF jumlahnya mencapai 4-5 orang. Bahkan, 34,29 persen generasi sandwich EF menanggung setidaknya enam orang atau lebih dalam rumah tangganya. Beban tanggungan terbesar di luar keluarga inti (suami/istri dan anak) ialah orangtua, diikuti anggota keluarga lainnya, seperti saudara kandung, ipar, menantu, dan cucu.

Masyarakat Indonesia umumnya berorientasi keluarga dan menanggung extended family adalah hal wajar. Padahal, beban tambahan anggota keluarga yang ditanggung jelas menciptakan dampak jangka panjang, baik bagi generasi sandwich maupun pembangunan nasional.

Pertama, rendahnya kemampuan menabung. Tabungan nasional menjadi salah satu sumber pembiayaan investasi. Rendahnya tabungan berimplikasi terhadap rendahnya kemampuan pembiayaan investasi nasional, menciptakan ketergantungan pada investasi asing, menghambat pertumbuhan ekonomi.

Kedua, masalah alokasi waktu. Generasi sandwich EF harus membagi waktunya yang terbatas untuk beragam aktivitas, mulai dari bekerja hingga mengurus anak dan orangtua. Hal ini berimplikasi terhadap produktivitas dan pengembangan diri. Ketiga, menghambat pembangunan manusia karena kemampuan pembiayaan pendidikan, kesehatan, dan gizi yang terbatas. Keempat, memberi tekanan psikologis dan memengaruhi kesehatan jiwa.

Saat ini, lebih dari 93 persen generasi sandwich berada dalam usia produktif.

Generasi ”sandwich” pasca-2040

Setelah periode bonus demografi berakhir, Indonesia akan masuk ke periode ageing society, yaitu proporsi penduduk lansia terus meningkat, proporsi penduduk muda mengecil. Jika Indonesia mampu mengonversi bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan, maka akhir periode bonus demografi akan ditandai dengan pendapatan per kapita yang tinggi. Para warga lansia akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari tabungan dan tak banyak tergantung pada intergenerational transfer. Jumlah generasi sandwich dapat ditekan.

Sebaliknya, apabila Indonesia gagal mengonversi bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan, setelah 2040 akan terjadi ”ledakan” generasi sandwich. Setidaknya ada tiga alasan.

Pertama, peningkatan usia harapan hidup tak dibarengi kenaikan pendapatan per kapita yang memadai. Kemampuan menabung rendah, menyebabkan para warga lansia akan tergantung pada generasi yang lebih muda dan memunculkan banyak generasi sandwich baru.

Kedua, adanya selisih antara usia harapan hidup (life expectancy) dan usia harapan hidup sehat (healthy life expectancy) akan menciptakan beban pembiayaan dan waktu bagi generasi sandwich. Data WHO menunjukkan ada selisih 6-8 tahun antara life expectancy dan healthy life expectancy untuk Indonesia. Para warga lansia dapat mencapai usia harapan hidup hingga 72 tahun, tetapi dengan usia harapan hidup sehat hanya 64 tahun. Selama tujuh tahun akhir masa hidup warga lansia dijalani dengan kondisi sakit dan membutuhkan waktu perawatan serta pembiayaan kesehatan.

Ketiga, dampak ikutan poin kedua ialah banyaknya warga lansia yang membutuhkan perawat (caregiver), tetapi setelah 2040, proporsi penduduk usia muda mengecil dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tak banyak suplai caregiver di pasar kerja. Anak akan mengambil peran tersebut dan menjadi generasi sandwich.

Kita harus mengoptimalkan manfaat bonus demografi saat ini. Tantangannya, di saat periode puncak bonus demografi (2020-2024), pandemi menerpa dunia, termasuk Indonesia, dan memunculkan krisis global. Namun, kita masih punya kesempatan untuk segera bangkit. Bonus demografi harus mampu segera kita konversi menjadi bonus kesejahteraan sehingga mencegah ledakan generasi sandwich pada saat 100 tahun kemerdekaan RI pada 2045. Untuk mewujudkannya, kita harus ”pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat”, seperti tema peringatan HUT Ke-77 RI.

Dipublikasikan pada Kolom Opini Kompas 14 Oktober 2022

Preview Image